BERJUMPA DENGAN PAK D. ZAWAWI IMRON
Berjumpa dengan Pak D. Zawawi Imron
Pertama kali berjumpa dan melihat sosoknya secara langsung adalah pada saat saya duduk di bangku MI. Saya lupa kelas berapa saya saat itu. Beliau diundang oleh sekolah untuk mengisi acara Maulid Nabi SAW. Senang sekali, saat beliau membacakan sebuah puisi. Menyentuh hati dan jiwa. Sosoknya yang sederhana dan apa adanya membuat beliau menjadi sosok yang begitu berkarisma.
Yang kedua kalinya, saya berjumpa beliau di sekolah MA saya dulu. Pada saat beliau mengisi seminar sastra dan kebudayaan yang diselenggarakan oleh OSIS Putri. Sosoknya yang begitu khas, tetap terlihat sederhana, dan begitu bersahaja dengan karya-karya puisinya. Karya puisi beliau, bukanlah karya puisi biasa, tetapi mengandung nilai-nilai, pesan moral yang dalam, dan begitu berkarakter dengan aroma bumbu kearifan lokal budaya Madura. Puisi “Ibu” selalu menjadi favorit pembaca dan pendengarnya. Sebab, kata beliau, sosok Ibu adalah pahlawan paling bersejarah dalam hidup kita, tempat kita bertapa, jadi apabila ingin sakti, maka bertapalah pada Ibu. Kata-kata beliau yang masih saya ingat pula sampai sekarang sebelum menutup seminar adalah “Kutinggal jejakku di sini, dan senyummu kubawa pergi”. Membuat saya ingin berjumpa dengan beliau kembali, pada suatu saat lagi nanti yang entah kapan di sebuah kesempatan.
Dan luar biasa anugerah dari Allah, di tempat saya kuliah pun, di Surabaya saya berjumpa dan dipertemukan kembali dengan sosok beliau untuk yang ketiga kalinya. Tepatnya, di sebuah malam puncak acara Dies Maulidiyah Prodi Bahasa dan Sastra Arab, yang bertempat di Auditorium kampus. Ketika itu, acara tersebut terbuka free untuk umum. Tentu, saya tak ingin melewatkan kesempatan emas ini, untuk melihat sosok beliau kembali, mendengar beliau berpuisi, dan memberikan wejangan hidup yang baik. Saya menghadiri acara tersebut bersama Ulfah, teman saya di asrama kampus, yang berasal dari Sulawesi. Ulfah juga begitu mengagumi Pak D. Zawawi, sebelumnya ia pernah berjumpa dengan beliau di pondoknya, di Sulawesi. Karena sebuah kerinduan, maka tentu ingin berjumpa kembali dengan sosok beliau. Kami berdua datang lebih awal, bahkan kami mengambil posisi duduk di kursi paling depan, agar tampak jelas melihat sosok beliau.
Kerinduan Ulfah yang begitu mendalam dengan sosok beliau, membuatnya sampai berani meminta kepada panitia untuk menemui dan berjumpa dengan Pak D. Zawawi Imron di ruangan beliau berada. Ulfah mengaku bahwa ia santrinya dari Sulawesi, begitupun saya sebagai santrinya dari Madura. Betapa baiknya hati panitia yang membolehkan dan memberi kesempatan itu. Mungkin, hal ini karena faktor kami datang di awal acara banget, belum datang satu peserta pun selain kami, panitia, dan Pak D. Zawawi yang telah ada di ruangan khusus yang disediakan panitia. Walau pertemuan kami hanya sebentar dan begitu singkat, kami bahagia sekali dan bersyukur, dapat menyapa dan berbicara langsung dengan beliau, bahkan diberi kesempatan pula untuk foto bersama dengan beliau. Ya Allah, benar-benar kesempatan emas yang sangat Alhamdulillah sekali kami dapatkan.
Kemudian, untuk yang keempat kalinya, saya melihat sosok Pak D. Zawawi kembali secara langsung, di sebuah acara Mengaji Indonesia yang spesial diadakan oleh kampus. Acaranya besar dan megah. Bertempat di depan gedung Twin Tower. Pada malam hari, dengan lampu yang menawan dan indah. Dihadiri oleh beribu-ribu mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum. Setidaknya pada acara kali ini, ada sebuah catatan poin-poin penting yang masih utuh di handphone saya yang sempat saya catat ketika itu.
Pak D. Zawawi Imron mengatakan, bahwa Indonesia adalah taburan zamrud berwarna hijau di atas beludru berwarna biru. Kemudian, kata beliau, kita butuh hati untuk melihat tanah air, sebab Indonesia adalah tanah air yang indah, indah, indah, indah, dan indah. Indonesia harus diurus dengan hati yang indah, dengan akhlak, dan keindahan jiwa. Indonesia adalah ladang kreatif dengan berbuat kebaikan-kebaikan kepada bangsa. Jadi, anak muda harus bersemangat.
Terus saya catat segala apa yang beliau sampaikan ketika itu, yang terasa begitu menyentuh hati. Kata beliau, barang siapa yang tidak menemukan keindahan dalam dirinya, maka ia tidak akan menemukan keindahan dari segala sesuatu ciptaan Allah yang indah. Kita harus menjadi orang yang bisa merasa, bukan orang yang merasa bisa. Merasa bahwa kita adalah anak Ibu. Merasa anaknya Ibu. Ingat kepada Allah, ini Ibu saya, dan ini Ayah saya. Kalau hati bersih dan beriman kepada Allah, tidak ada seujung rambut pun untuk berbuat kejahatan. Kata Imam Syafi’i, kalau ada anak muda yang malas belajar, maka angkat takbir empat kali sebagai shalat jenazah kematiannya. Jadikan senyum optimis sebagai hiasan untuk bersedekah dan menghormati saudaranya. Dekatkan hati kita dengan Allah, pinta kemujuran kepada Allah. Mujur bisa kita dapatkan ketika kita membuat banyak orang gembira dan tersenyum.
Dan, satu hal wejangan dari beliau yang paling menyentuh nurani saya sebagai sosok perempuan adalah, beliau berkata bahwa, perempuan tidak perlu cantik, sederhana saja, tapi jadilah cerdas dan berkontribusi besar terhadap bangsa.
Allahu Akbar, Pak D, semoga kita bisa bertemu kembali pada suatu kesempatan lagi yang entah di mana pun itu nanti. Selalu merindukan wejangan Pak D yang begitu menyejukkan hati. Semoga, Pak D selalu sehat dan dianugerahi kebahagiaan oleh Allah. Karya-karya puisi Pak D, sangat dan sangat menginspirasi diri saya, untuk berkarya pula yang baik, membersihkan hati dari duri-duri, bertapa pada Ibu dan Ayah, serta tak lupa dengan kearifan lokal budaya Madura, juga keindahan tanah air Indonesia. Semoga Allah, mempertemukan saya dan Pak D kembali.
Catatan Hati Santriwati
Pulau Garam | 25 November 2020
Comments
Post a Comment
Beri komentar, kritikan, saran, dan masukan yang membangun. Terima Kasih! Salam Sastra dan Literasi!