PROSES MENULIS HINGGA TERBIT
Proses Menulis Hingga Terbit
“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam
ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Pramoedya Ananta Toer)
Banyak
sekali para penulis di seluruh penjuru dunia ini, yang telah banyak memberikan pencerahan,
menginspirasi, dan memberikan wawasan terhadap banyak orang. Tanpa
tulisan-tulisan mereka semua, mungkin manusia akan menjadi sosok manusia yang
tidak berkembang. Jadi, betapa berharga karya-karya orang terdahulu, seperti
karya Imam Bukhori dan Imam Muslim. Begitu pula karya para ulama dan kiai,
misalnya kitab-kitab yang ditulis oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan masih banyak
lagi. Berkat karya beliau semua, kami manusia yang lahir belakangan belajar
dari apa yang beliau-beliau tulis.
Tidak
terkecuali juga karya-karya sastra, seperti karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang mana dari
karya-karya beliau ini, kita dapat belajar banyak hal, mulai dari sejarah,
kemanusiaan, nasionalisme, dan masih banyak lagi pelajaran lainnya. Kemudian, syair-syair
shalawat dalam bahasa arab untuk Kanjeng Nabi dan burdah
karya Imam Al-Bushiri. Semua karya sastra itu, mengajari kita (khususnya saya
pribadi) tentang alam ini, untuk lebih peka pada keadaan, menghargai lukisan
semesta, dan menghayati hal-hal yang nampak apa adanya tetapi memiliki makna
yang luar biasa.
Maka
dari itu, saya pun ikut menulis. Saya terinspirasi oleh keindahan dan betapa
berartinya karya para penulis yang telah memberikan sumbangsih dan
menginspirasi hidup banyak orang. Bukan karena ingin terkenal atau mendapat
pujian. Tetapi menulis untuk berbagi. Kalau saya pribadi, dimulai dari
pengalaman pribadi saya yang mungkin sedikit bisa menginspirasi banyak orang.
Sekiranya ada hal buruk dalam cerita saya, setidaknya orang-orang bisa
mengambil hikmah dan tidak melakukan seperti apa yang saya lakukan. Jika ada
hal baik dalam cerita saya, setidaknya juga berkontribusi untuk memacu dan
memberikan semangat atau pencerahan (walau pun saya bukan sang pencerah) bagi
banyak orang.
Melahirkan
karya-karya adalah salah satu impian terbesar dalam hidup saya. Tidak hanya
berhenti pada label bisa menerbitkan sebuah karya lalu berhenti begitu saja,
akan tetapi lebih dari itu tujuan saya. Maka dari itu, saya selalu berusaha
berlatih menulis, agar tulisan saya setidaknya bisa bermanfaat untuk dibaca
banyak orang.
“Khairunnas anfa’uhum linnas”. Sebaik-baik
manusia adalah manusia yang bisa memberikan manfaat terhadap sesamanya. Saya
belum memiliki banyak harta untuk dibagikan. Yang saya miliki adalah tulisan,
berawal dari pengalaman hidup, yang bisa saya bagi. Baik itu berupa cerita
maupun berupa puisi.
Alhamdulillahirabbil’alamin, bulan November
2019, kumpulan puisi saya dengan judul “Warna-Warna Langit” pun terbit. Sebelum
karya-karya puisi itu terkumpul dalam satu buku, tentu ada proses menulis yang
saya jalani sebelumnya. Serta ada proses terbit pula sebelum terpublish.
Proses Menulis
Semuanya
berawal semenjak saya masil kecil. Bermula dari suka membaca puisi. Sejak TK
saya dilatih oleh Ibu saya sendiri untuk mengikuti lomba baca puisi di sekolah.
Hingga kata Ibu saya menjadi yang terbaik dan ditampilkan di acara Haflatul
Imtihan. Banyak sekali yang mengaprsesiasi, tidak hanya Ibu guru saya di TK,
akan tetapi guru-guru MI dan MTs juga ikut salut dengan puisi yang saya
bacakan. Puisi yang saya bacakan dulu itu berjudul “Purnama”. Isi puisi itu
adalah tentang seorang anak yang begitu mencintai Ibunya. Entah siapa
pengarangnya. Selama masa TK dulu, seringkali menjadi delegasi sekolah untuk
ikut lomba baca puisi di tingkat Kabupaten. Mendengar cerita dari Ibu tentang
masa kecil saya itu, saya tidak menyangka bahwa ternyata sebuah puisi sangat
bersejarah dalam hidup saya. Serta mendukung pertumbuhan saya hingga dewasa.
Kemudian,
ketika MI, saya masih tetap suka membaca puisi dan ikut lomba baca puisi di
sekolah. Yang mengajari bukan Ibu lagi, tetapi diajari oleh Mbak saya. Mbak
saya ini juga sangat pintar dan begitu menghayati ketika membaca puisi. Pernah menjadi
juara 1. Sayangnya, selama saya MI, saya tidak pernah juara saat ikut lomba
baca puisi.
Baru
setelah saya di jenjang MTs, saya ikut komunitas Sanggar 7 Kejora dan Bengkel
Sastra. Di sini skill saya dilatih untuk membaca puisi bersama teman
saya yang juga berbakat, yaitu Rumnaini dan Khatijah. Kami diajari oleh Bapak
A. Qusyairi, beliau adalah guru B. Indonesia kami. Pernah berkali-kali menjadi
delegasi sekolah untuk ikut lomba baca puisi di tingkat Kabupaten hingga
Madura. Namun, berkali-kali pula gagal. Tetapi, alhamdulillah pernah tiga kali
mengharumkan nama sekolah MTs atas prestasi yang saya raih di bidang lomba baca
puisi dan cipta puisi.
Sejak
kelas 2 MTs, saya baru mulai ikut menulis puisi di komunitas Sanggar 7 Kejora,
Rumah Senja, dan Komunitas Kobhung (K2). Awal mau menulis puisi, susah sekali menyusun
sebuah kata. Kata-katanya ada dalam ide dan pikiran, namun begitu sulit untuk
dikeluarkan. Karena selama kelas 1 MTs saya hanya fokus belajar di bidang cara-cara
membaca puisi, seperti olah vokal, interpretasi, penghayatan, gestur, dan mimik
wajah. Makanya pas di awal menulis sangat susah.
Tetapi
akhirnya saya tidak menyerah. Saya mulai inisiatif membaca karya-karya orang
agar terinspirasi dengan karya tulisannya, pilihan kata-katanya, dan
imajinasinya. Entah, kemudian saya pun bisa menulis puisi. Walau di awal
menulis dulu, rata-rata karya saya itu semuanya bertema tentang cinta,
perasaan, dan kesedihan. Padahal saya sebenarnya tidak tahu apa itu cinta.
Namun, masa pubertas saya cukup mendukung sebagai manusia normal yang juga
tertarik dengan lawan jenis. Istilah kerennya mungkin seperti memendam perasaan
dalam diam. Sebenarnya mungkin kagum saja, bukan cinta. Namun, bahasa
teman-teman terlalu serius sampai divonis cinta. Disamping saya tidak pernah
punya niatan untuk pacaran, sekolah saya adalah yayasan pesantren, di mana pacaran
sangat dilarang keras. Sehingga, yang ada hanyalah perasaan terpendam dalam
hati, lalu tumpah menjadi puisi. Di situlah imajinasi saya bermain dalam diksi.
Puisi-puisi
yang saya ciptakan itu, dibacakan di pertemuan rutin Sanggar 7 Kejora, Rumah Senja,
dan Komunitas Kobhung. Di sini kami melakukan tadarus puisi. Di Sanggar 7
Kejora ditambah dengan tugas wajib setor minimal 3 karya setiap seminggu
sekali. Kemudian di Komunitas Kobhung, secara bergantian dengan anggota yang
lain, karya puisi kami dibedah dan diperbincangkan bersama, seperti apa yang
melatar berlakangi terciptanya puisi itu, dan mengapa menggunakan diksi-diksi
itu dalam puisi kami.
Pertemuan
ini sangat membantu perkembangan menulis anggota, jadi di sini kami saling
belajar dari karya anggota yang lain, di samping mendapatkan arahan materi
terkait tips-tips menulis puisi dari tutor menulis kami. Pernah juga ada
tantangan tema puisi yang harus kami tulis.
Hingga
tiba pada suatu waktu, saya mendapat masukan dari tutor menulis saya, bahwa
puisi saya adalah yang paling tidak berkembang dari anggota lainnya. Rasanya
jleb banget ke hati. Begitu terpukul saya dengan masukan ini. Namun, sebab
masukan inilah, saya tidak berhenti menulis, saya terus menulis dan mencari ide
yang lebih baik untuk ditulis. Saya terus menulis tidak peduli dikatai apa pun
seperti apa karya saya. Hingga tiba pada suatu waktu pula, karya saya pernah
dipuji, bahwa karya saya saat itu adalah karya terbaik dan paling bisa diterima
oleh tutor saya diantara karya-karya anggota lainnya.
Intinya,
penulis itu memang harus menulis. Serta harus sering membaca karya-karya orang
sebagai nutrisi dan vitamin untuk ide, imajinasi, dan tulisan kita. Membaca dan
menulis tidak boleh tidak dilakukan oleh seorang penulis. Rasanya wajib fardhu
‘ain. Atau, kalau tidak, ia akan seperti besi yang berkarat.
Lalu,
sampai lah pada suatu hari, alhamdulllah saya menjadi juara 1 lomba cipta puisi
yang diselenggarakan oleh Komunitas K5. Judul puisi saya yang menjadi juara 1 tersebut
adalah “Demi Nusa yang Merah Ini”. Sudah terkumpul di buku perdana saya,
Warna-Warna Langit. Puisi itu adalah puisi pertama yang menjadi juara di antara
sekian banyak puisi yang pernah saya ciptakan. Saat itu saya kelas 3 MTs. Sudah
hampir mau lulus. Seperti itulah masa MTs saya, secuil yang bisa saya ceritakan
tentang proses belajar menulis saya.
Lanjut waktu masa MA, alhamdulillah saya masih
tetap menulis, walau pun sudah tidak lanjut sekolah di Al-Huda lagi dengan
komunitas-komunitas puisi sebelumnya. Saat melanjutkan sekolah di MA Nasy’atul
Muta’allimin, saya masuk memakai jalur prestasi. Yakni dengan melampirkan
prestasi-prestasi akademik dan non-akademik saya. Maka, saya pun melampirkan
beberapa sertifikat juara di bidang baca dan cipta puisi yang pernah saya raih waktu
MTs. Selama masa MA, di sini juga ada komunitas puisi, yaitu Sanggar Kencana.
Sanggar ini adalah milik MA Putri Nasy’atul Muta’allimin.
Dulu
tutor puisi saya di Sanggar 7 Kejora Al-Huda salah satunya adalah Kak F. Rizal
Alief. Di MA Nasy’atul Muta’allimin pun beliau tetap menjadi tutor saya. Sebab,
sejak saya sekolah di MA Nasy’atul Muta’allimn, sejak itu pula beliau mengajar
B. Indonesia di MA Nasy’atul Muta’allimin. Jadi, saya tetap belajar ke beliau.
Beberapa
kali selama MA, sekolah menunjuk saya bersama beberapa teman lainnya untuk
mengikuti lomba baca puisi maupun lomba cipta puisi. Seringkali. Mengalami tidak
juara pernah. Dan menjadi juara alhamdulillah juga pernah. Semuanya belajar
sama Kak Rizal. Baik itu baca puisi, maupun cipta puisi. Dan beliau pulalah
yang selalu dipercayai oleh sekolah untuk mendampingi saya dan beberapa teman
saya lainnya yang juga berbakat dalam membaca dan cipta puisi.
Pengalaman
saat MA, yang tidak akan pernah saya lupakan dan begitu menyentuh hati saya,
adalah pada saat saya menjadi juara 1 lomba cipta dan baca puisi islami
kandungan Al-Qur’an dalam ajang AKSIOMA di tingkat Kabupeten, hingga
mengantarkan saya menjadi perwakilan Kabupaten Sumenep untuk mengikuti ajang
AKSIOMA di tingkat provisi yaitu di Tuban. Judul puisi yang menjadi juara 1
itu, adalah “Samudera Air Mata”, saat itu saya mengambil lotre, dan tema yang
harus saya jadikan puisi adalah kandungan Surat Al-Ghosiyah. Sempat sedih
karena gagal belum juara di tingkat provinsi. Namun, dibalik semua itu ada
hikmahnya. Membuat saya terus menulis, dan seakan punya hutang untuk terus
menciptakan karya yang lebih baik lagi.
Pada
masa MA dulu, puisi-puisi saya cenderung berupa puisi untuk Kanjeng Nabi dan
tentang kandungan Al-Qur’an, beberapa juga ada tentang kearifan lokal budaya
Madura. Puisi saya yang berjudul “Entar Majhang” alhamdulillah menjadi juara 2
se-Madura dalam lomba cipta dan baca puisi di acara Aryaseda II Universitas
Wiraraja Sumenep. Saat itu saya kelas 1 MA.
Hingga
kuliah di perguruan tinggi, saya pun tetap menulis puisi. Walau sempat vakum
lama karena lebih memilih untuk mengerjakan tugas-tugas akademik mata kuliah,
yaitu membuat makalah dan tugas-tugas lainnya. Banyak sekali tugas-tugas kuliah
saya, sampai saya jarang untuk menulis puisi atau tulisan sastra lainnya.
Padahal anak prodi Sastra Inggris. Sebenarnya ini adalah kesalahan saya yang
kurang bisa membagi waktu. Atau saya terlalu terlena di sela-sela waktu santai
yang saya miliki sehingga tidak dibuat untuk menulis. Atau bisa jadi juga
disebabkan karena terlalu keasyikan bermain medsos. Maklum, baru pertama kali
dikasi HP sama Ibu sejak kuliah. Punya HP Android juga baru pada saat kuliah.
Namun,
tidak berarti medsos selalu memberikan dampak negatif terhadap saya. selain
memberikan kemudahan dalam mendapatkan informasi dari dosen, saya juga
memanfaatkan medsos seperti instgram, facebook, line, dan WhatsApp untuk
mencari informasi lomba-lomba cipta puisi di situ. Sistem dunia kuliah yang
saya jalani benar-benar 180 derajat bebeda dengan hidup yang saya jalani saat
sekolah dulu. Kalau dulu dijadikan delegasi oleh sekolah untuk ikut lomba baca
atau cipta puisi, saat kuliah tidak lagi. Saya sendiri yang mencari dan
mengikutinya mengatasnamakan kampus. Entahlah, menurut opini saya, seharusnya
prodi juga mengurusi ini, mendukung atau menawarkan mahasiswanya untuk
mengikuti lomba-lomba cipta puisi semacam ini. Soalnya kan prodi saya juga
prodi sastra. Ketika juara, yang harum juga nama kampus. Dan akan mendukung
akreditasi baru untuk prodi.
Kakak
senior saya dan Kak F. Rizal Alief pun memberi saya masukan, pencerahan, dan motivasi.
Awalnya saya masih merasakan kegelisahan. Lalu, tiba-tiba saya suka menulis
cerita pengalaman hidup saya yang kemudian saya posting di blog pribadi saya.
Sebenarnya saya sudah punya blog sejak semester 1, sudah ada beberapa tulisan
di sana yang saya posting. Hanya saja jarang sekali mengelolanya. Baru pada
saat semester 6, sprit saya menggebu-gebu untuk menulis. Bahkan menulis lalu
diposting ke blog pribadi menjadi sebuah kecanduan tersendiri pada akhirnya.
Saya suka sekali berbagi cerita tentang pengalaman saya. Seakan saya tidak mau
kenangan bahagia, sedih, dan pengalaman berharga terlewati begitu saja tanpa
ditulis.
Dan,
mulai semester 7, saya tiba-tiba kembali lagi kecanduan menulis puisi setiap
hari. Semester-semester sebelumnya sangat jarang sekali. Paling 1 bulan cuma
menciptakan 1 atau 2 puisi saja. Mungkin juga dikarenakan mata kuliah di
semester 7 tidak sepadat semester-semester sebelumnya. Jadi saya memiliki waktu
luang yang lebih banyak untuk menulis. Saya betul-betul merasakan diri dan jiwa
saya kembali pada jati diri saya, yaitu menulis. Dengan menulis saya menemukan
diri saya. Terasa nyaman, jiwa saya terisi, tidak tertekan, dan penuh
penghayatan akan hidup dan alam semesta.
Hingga
kemudian, sampai pada sebuah waktu, dengan proses menulis saya ini (penuh
syukur alhamdulillah) mengantarkan saya menjadi juara 1 dalam lomba cipta baca
puisi islmi di Universitas Airlangga yang diselenggarakan oleh Fakultas Sains
dan Teknologi UNAIR dalam ajang ISEF 2019. Puisi saya yang menjadi juara 1 di
UNAIR itu berjudul “Pelangi Kearifan”. Banyak sekali yang mengapresiasi, mulai
dari musyrifah kamar saya yaitu Ustadzah Fatimah, seluruh pengurus Pesmi,
kepala TPQ saya dan pengurus Ma’had Al-Jami’ah UINSA, yang mana saya sebelumnya
meminta doa-doa beliau walau tidak semuanya, sebelum saya berangkat ke UNAIR.
Bahkan Kaprodi saya (Ma’am Wahju) dan Prof. Zul yang sekarang menjadi dosen
pembimbing skripsi saya mengucapkan selamat atas prestasi yang saya raih. Serta
hal ini juga berkat selalu membaca karya-karya Kak A. Warits Rovi, beliau
adalah tutor saya sejak MTs yang mana karya-karya beliau selalu saya baca di
media online tanah air, prestasinya yang terposting di FB beberapa kali selalu
menginspirasi saya untuk menulis.
Puisi-puisi
yang saya ciptakan pada masa kuliah jauh lebih beragam dari masa sekolah dulu.
Ragam puisi yang saya ciptakan itu, selain berdasarkan minat tema yang saya
inginkan sendiri, juga mengikuti ketentuan tema dari panitia lomba yang saya
ikuti. Banyak sekali lomba-lomba cipta puisi yang saya ikuti selama kuliah.
Informasi itu saya cari sendiri semuanya dari instagram, di samping itu juga
ada teman-teman yang menyebarkan informasi lomba cipta puisi di grup-grup
WhatsApp. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Sampai saya buatkan schedule
sendiri perbulannya untuk mengikuti lomba cipta puisi. Sebenarnya hal ini
mulai saya praktekkan sejak lama, namun awalnya saya hanya menandai deadline
lomba tersebut di laptop saya. Akan tetapi, sejak Oktober 2019, saya manage
semuanya dengan rapi menjadi kalender bulanan untuk mengikuti lomba cipta
puisi. Saya print, lalu saya tempel di kamar asrama saya. Alhamdulillah,
hasilnya ternyata memang ada. Bulan Oktober, ada beberapa lomba yang saya
juarai. Bulan November juga alhamdulillah ada. Dan bulan Desember pun
alhamdulillah juga ada. Ya, hasil memang tidak akan pernah mengkhianati proses.
Hasil itu adalah bonus untuk menghargai proses. Saya hanya kecanduan puisi.
Maka, ketika ada salah satu atau beberapa lomba yang saya juarai, itu hanyalah
bonus dari kecanduan saya.
Jadi,
menulis itu butuh motivasi, isnpirasi, keistiqomahan, kekonsistenan,
ketelatenan, banyak membaca karya-karya orang, serta terus berlatih menulis
setiap hari. Menjadikan lomba-lomba sebagai media untuk belajar dan memacu diri
untuk terus menulis lebih baik lagi. Intinya, penulis tidak boleh berhenti
menulis, harus terus berlatih untuk menulis yang terbaik. Serta harus banyak
baca untuk menulis kembali. Ya, membaca untuk menulis, dan menulis untuk
membaca lagi. Terus seperti itu tanpa henti untuk belajar menulis.
Proses Terbit
Sudah
sejak lama saya punya impian untuk menerbitkan buku karya saya sendiri. Sebelum
saya berangkat kuliah ke Surabaya, saya sudah mengelist buku apa saja nanti
yang harus saya tulis dan harus diusahakan betul-betul untuk terbit menjadi
sebuah buku yang utuh.
Saya itu
awalnya tidak tahu bagaimana cara menerbitkan buku. Nyari penerbitnya di mana,
dan harus bertanya ke siapa. Hingga saya mencoba memberanikan diri ke Ustadz
Shofi (salah satu musyrif di Ma’had Al-Jami’ah UINSA) untuk bertanya apakah
Ustadz Shofi punya kenalan penerbit atau tidak. Beliau menjawab banyak. Namun,
saat itu naskah saya masih belum rampung. Masih dalam tahap penulisan.
Dan, saat
itu pun, saya langsung sadar diri. Duh, iya ya, kenapa saya dari dulu tidak searching
penerbit melalui instagram. Akhirnya, saya pun mencoba searching penerbit
lainnya. Ternyata penerbit-penerbit terkenal dan ternama punya akun IG semua.
Penerbit indie juga. Mulai dari gramedia pustaka, mizan pustaka, penebit sulur,
prokreatif media, inspo creative, qultum media, quanta media, dan penerbit
lainnya semuanya ada. Nah kan, sebenarnya HP android yang ada di dalam
genggaman kita itu sudah menggenggam dunia. Tinggal kitanya saja, mau ikut
pintar dan memanfaatkannya dengan baik atau malah tidak. Kita bisa searching
apa saja di sini. Tinggal kita yang harus pandai untuk memilah dan memilih
yang baik untuk hidup kita.
Bulan
Agustus 2019, saya menghubungi admin Farha Pustaka. Awalnya saya hubungi
melalui instagram, kemudian diajak untuk berdiskusi lebih lanjut melalui WA.
Saya bertanya-tanya soal penerbitan di sini. Ternyata di sini menerbitkan
naskah fiksi dan non-fiksi. Kemudian, saya bertanya apakah di sini juga
menerbitkan antologi puisi pribadi atau tidak. Jawabannya adalah iya. Saya pun
langsung menyusun naskah saya. Mencari dan mengumpulkan puisi-puisi saya yang
dulu pernah di muat di buletin, pernah dimuat dalam antologi bersama, pernah
juara, pernah dimuat di mading, dan puisi-puisi yang cukup dipertimbangkan oleh
tutor menulis saya.
Naskah
antologi puisi saya tersebut, saya susun selama bulan September 2019. Lalu pada
bulan Oktober 2019, saya menghubungi Kaprodi saya, Ma’am Wahju Kusumajanti,
M.Hum, untuk meminta beliau memberikan kata pengantar terhadap naskah saya. Menghubungi
Kak A. Warits Rovi (tutor menulis saya sejak MTs) untuk meminta beliau mengulas
naskah saya. Meminta Miss Dhina (dosen sastra saya) untuk membaca dan memberi
masukan terhadap naskah saya. Dan meminta Ma’am Mirotin (dosen sastra saya),
Mbak Birrul (motivator dan Awardee Bidikmisi di UGM), Mbak Fera (senior saya di
sastra inggris dan penulis), Mbak Najwan Nada (penulis), dan Ustadzah Ulfa (editor
di Cantrik Pustaka) untuk memberikan endorsment terhadap naskah puisi
saya.
Awal
November, saya susun kembali tulisan kata pengantar, ulasan, dan endorsment dalam
naskah saya menjadi satu. Setelah selesai, langsung saya setor ke pihak
penerbit, yaitu Farha Pustaka.
Untuk
menerbitkan buku di Farha Pustaka ini, persyaratannya tidak terlalu ribet.
Malah penerbit ini sangat bersahabat. Tidak memaksa penulis untuk buru-buru
menyelesaikan naskahnya. Bulan Agustus 2019, saya mendaftarkan diri saya untuk
menerbitkan buku di sini. Memang, menerbitkan buku di sini masih berbayar. Ada
periode promo penerbitan di sini. Saat itu saya memilih Paket 2 promo penerbitan,
dengan membayar Rp. 300. 000. Yang mana nantinya saya akan mendapat 6 buku
untuk saya sendiri, 2 buku diberikan ke perpusnas, dan 2 buku diberikan ke
perpusda oleh penerbit. Mendapatkan sertifikat penulis, ber-ISBN, mendapatkan
jasa editing, layout, dan design cover dari penerbit.
Penerbit
tentu juga memiliki persyaratan dalam penulisan naskah, agar naskah kita
langsung lolos terbit tanpa revisi. Diantaranya tidak boleh menyinggung SARA,
kalau menyinggung SARA, HAM, dan semacamnya, naskah pasti akan tertolak.
Kemudian, dalam penulisan naskahnya, harus mengikuti size paper, margin, spasi,
dan font yang ditentukan oleh penerbit.
Alhamdulillah,
naskah saya langsung terbit tanpa revisi. Hingga di akhir bulan November 2019,
saya dikabari oleh penerbit bahwa buku telah dikirim ke saya. Awal Desember
2019, langsung saya rilis di seluruh akun media sosial yang saya miliki. Untuk
penjualan harga buku ke publik, tentu dimusyawarahkan bersama penerbit,
kira-kira cocoknya dijual dengan harga berapa. Setelah diberikan saran oleh
penerbit, akhirnya harga buku saya itu terjual dengan harga Rp. 55.000.
Karena “Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu
cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh
seseorang yang lain entah di mana. Cara itu lah yang bermacam-macam dan di sanalah
harga kreativitas ditimbang-timbang.” (Seno Gumira Ajidarma)
Sumenep, 01 Februari 2020
Comments
Post a Comment
Beri komentar, kritikan, saran, dan masukan yang membangun. Terima Kasih! Salam Sastra dan Literasi!