PROSES MENULIS HINGGA TERBIT



Proses Menulis Hingga Terbit

“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Pramoedya Ananta Toer)

    Banyak sekali para penulis di seluruh penjuru dunia ini, yang telah banyak memberikan pencerahan, menginspirasi, dan memberikan wawasan terhadap banyak orang. Tanpa tulisan-tulisan mereka semua, mungkin manusia akan menjadi sosok manusia yang tidak berkembang. Jadi, betapa berharga karya-karya orang terdahulu, seperti karya Imam Bukhori dan Imam Muslim. Begitu pula karya para ulama dan kiai, misalnya kitab-kitab yang ditulis oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan masih banyak lagi. Berkat karya beliau semua, kami manusia yang lahir belakangan belajar dari apa yang beliau-beliau tulis. 

    Tidak terkecuali juga karya-karya sastra, seperti karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang mana dari karya-karya beliau ini, kita dapat belajar banyak hal, mulai dari sejarah, kemanusiaan, nasionalisme, dan masih banyak lagi pelajaran lainnya. Kemudian, syair-syair shalawat dalam bahasa arab untuk Kanjeng Nabi dan burdah karya Imam Al-Bushiri. Semua karya sastra itu, mengajari kita (khususnya saya pribadi) tentang alam ini, untuk lebih peka pada keadaan, menghargai lukisan semesta, dan menghayati hal-hal yang nampak apa adanya tetapi memiliki makna yang luar biasa. 

    Maka dari itu, saya pun ikut menulis. Saya terinspirasi oleh keindahan dan betapa berartinya karya para penulis yang telah memberikan sumbangsih dan menginspirasi hidup banyak orang. Bukan karena ingin terkenal atau mendapat pujian. Tetapi menulis untuk berbagi. Kalau saya pribadi, dimulai dari pengalaman pribadi saya yang mungkin sedikit bisa menginspirasi banyak orang. Sekiranya ada hal buruk dalam cerita saya, setidaknya orang-orang bisa mengambil hikmah dan tidak melakukan seperti apa yang saya lakukan. Jika ada hal baik dalam cerita saya, setidaknya juga berkontribusi untuk memacu dan memberikan semangat atau pencerahan (walau pun saya bukan sang pencerah) bagi banyak orang. 

    Melahirkan karya-karya adalah salah satu impian terbesar dalam hidup saya. Tidak hanya berhenti pada label bisa menerbitkan sebuah karya lalu berhenti begitu saja, akan tetapi lebih dari itu tujuan saya. Maka dari itu, saya selalu berusaha berlatih menulis, agar tulisan saya setidaknya bisa bermanfaat untuk dibaca banyak orang. 
 
    “Khairunnas anfa’uhum linnas”.  Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bisa memberikan manfaat terhadap sesamanya. Saya belum memiliki banyak harta untuk dibagikan. Yang saya miliki adalah tulisan, berawal dari pengalaman hidup, yang bisa saya bagi. Baik itu berupa cerita maupun berupa puisi. 

    Alhamdulillahirabbil’alamin, bulan November 2019, kumpulan puisi saya dengan judul “Warna-Warna Langit” pun terbit. Sebelum karya-karya puisi itu terkumpul dalam satu buku, tentu ada proses menulis yang saya jalani sebelumnya. Serta ada proses terbit pula sebelum terpublish


Proses Menulis

    Semuanya berawal semenjak saya masil kecil. Bermula dari suka membaca puisi. Sejak TK saya dilatih oleh Ibu saya sendiri untuk mengikuti lomba baca puisi di sekolah. Hingga kata Ibu saya menjadi yang terbaik dan ditampilkan di acara Haflatul Imtihan. Banyak sekali yang mengaprsesiasi, tidak hanya Ibu guru saya di TK, akan tetapi guru-guru MI dan MTs juga ikut salut dengan puisi yang saya bacakan. Puisi yang saya bacakan dulu itu berjudul “Purnama”. Isi puisi itu adalah tentang seorang anak yang begitu mencintai Ibunya. Entah siapa pengarangnya. Selama masa TK dulu, seringkali menjadi delegasi sekolah untuk ikut lomba baca puisi di tingkat Kabupaten. Mendengar cerita dari Ibu tentang masa kecil saya itu, saya tidak menyangka bahwa ternyata sebuah puisi sangat bersejarah dalam hidup saya. Serta mendukung pertumbuhan saya hingga dewasa.

    Kemudian, ketika MI, saya masih tetap suka membaca puisi dan ikut lomba baca puisi di sekolah. Yang mengajari bukan Ibu lagi, tetapi diajari oleh Mbak saya. Mbak saya ini juga sangat pintar dan begitu menghayati ketika membaca puisi. Pernah menjadi juara 1. Sayangnya, selama saya MI, saya tidak pernah juara saat ikut lomba baca puisi. 

    Baru setelah saya di jenjang MTs, saya ikut komunitas Sanggar 7 Kejora dan Bengkel Sastra. Di sini skill saya dilatih untuk membaca puisi bersama teman saya yang juga berbakat, yaitu Rumnaini dan Khatijah. Kami diajari oleh Bapak A. Qusyairi, beliau adalah guru B. Indonesia kami. Pernah berkali-kali menjadi delegasi sekolah untuk ikut lomba baca puisi di tingkat Kabupaten hingga Madura. Namun, berkali-kali pula gagal. Tetapi, alhamdulillah pernah tiga kali mengharumkan nama sekolah MTs atas prestasi yang saya raih di bidang lomba baca puisi dan cipta puisi. 

    Sejak kelas 2 MTs, saya baru mulai ikut menulis puisi di komunitas Sanggar 7 Kejora, Rumah Senja, dan Komunitas Kobhung (K2). Awal mau menulis puisi, susah sekali menyusun sebuah kata. Kata-katanya ada dalam ide dan pikiran, namun begitu sulit untuk dikeluarkan. Karena selama kelas 1 MTs saya hanya fokus belajar di bidang cara-cara membaca puisi, seperti olah vokal, interpretasi, penghayatan, gestur, dan mimik wajah. Makanya pas di awal menulis sangat susah. 

    Tetapi akhirnya saya tidak menyerah. Saya mulai inisiatif membaca karya-karya orang agar terinspirasi dengan karya tulisannya, pilihan kata-katanya, dan imajinasinya. Entah, kemudian saya pun bisa menulis puisi. Walau di awal menulis dulu, rata-rata karya saya itu semuanya bertema tentang cinta, perasaan, dan kesedihan. Padahal saya sebenarnya tidak tahu apa itu cinta. Namun, masa pubertas saya cukup mendukung sebagai manusia normal yang juga tertarik dengan lawan jenis. Istilah kerennya mungkin seperti memendam perasaan dalam diam. Sebenarnya mungkin kagum saja, bukan cinta. Namun, bahasa teman-teman terlalu serius sampai divonis cinta. Disamping saya tidak pernah punya niatan untuk pacaran, sekolah saya adalah yayasan pesantren, di mana pacaran sangat dilarang keras. Sehingga, yang ada hanyalah perasaan terpendam dalam hati, lalu tumpah menjadi puisi. Di situlah imajinasi saya bermain dalam diksi. 

    Puisi-puisi yang saya ciptakan itu, dibacakan di pertemuan rutin Sanggar 7 Kejora, Rumah Senja, dan Komunitas Kobhung. Di sini kami melakukan tadarus puisi. Di Sanggar 7 Kejora ditambah dengan tugas wajib setor minimal 3 karya setiap seminggu sekali. Kemudian di Komunitas Kobhung, secara bergantian dengan anggota yang lain, karya puisi kami dibedah dan diperbincangkan bersama, seperti apa yang melatar berlakangi terciptanya puisi itu, dan mengapa menggunakan diksi-diksi itu dalam puisi kami. 

    Pertemuan ini sangat membantu perkembangan menulis anggota, jadi di sini kami saling belajar dari karya anggota yang lain, di samping mendapatkan arahan materi terkait tips-tips menulis puisi dari tutor menulis kami. Pernah juga ada tantangan tema puisi yang harus kami tulis. 

    Hingga tiba pada suatu waktu, saya mendapat masukan dari tutor menulis saya, bahwa puisi saya adalah yang paling tidak berkembang dari anggota lainnya. Rasanya jleb banget ke hati. Begitu terpukul saya dengan masukan ini. Namun, sebab masukan inilah, saya tidak berhenti menulis, saya terus menulis dan mencari ide yang lebih baik untuk ditulis. Saya terus menulis tidak peduli dikatai apa pun seperti apa karya saya. Hingga tiba pada suatu waktu pula, karya saya pernah dipuji, bahwa karya saya saat itu adalah karya terbaik dan paling bisa diterima oleh tutor saya diantara karya-karya anggota lainnya. 

    Intinya, penulis itu memang harus menulis. Serta harus sering membaca karya-karya orang sebagai nutrisi dan vitamin untuk ide, imajinasi, dan tulisan kita. Membaca dan menulis tidak boleh tidak dilakukan oleh seorang penulis. Rasanya wajib fardhu ‘ain. Atau, kalau tidak, ia akan seperti besi yang berkarat. 

    Lalu, sampai lah pada suatu hari, alhamdulllah saya menjadi juara 1 lomba cipta puisi yang diselenggarakan oleh Komunitas K5. Judul puisi saya yang menjadi juara 1 tersebut adalah “Demi Nusa yang Merah Ini”. Sudah terkumpul di buku perdana saya, Warna-Warna Langit. Puisi itu adalah puisi pertama yang menjadi juara di antara sekian banyak puisi yang pernah saya ciptakan. Saat itu saya kelas 3 MTs. Sudah hampir mau lulus. Seperti itulah masa MTs saya, secuil yang bisa saya ceritakan tentang proses belajar menulis saya. 

    Lanjut waktu masa MA, alhamdulillah saya masih tetap menulis, walau pun sudah tidak lanjut sekolah di Al-Huda lagi dengan komunitas-komunitas puisi sebelumnya. Saat melanjutkan sekolah di MA Nasy’atul Muta’allimin, saya masuk memakai jalur prestasi. Yakni dengan melampirkan prestasi-prestasi akademik dan non-akademik saya. Maka, saya pun melampirkan beberapa sertifikat juara di bidang baca dan cipta puisi yang pernah saya raih waktu MTs. Selama masa MA, di sini juga ada komunitas puisi, yaitu Sanggar Kencana. Sanggar ini adalah milik MA Putri Nasy’atul Muta’allimin. 

    Dulu tutor puisi saya di Sanggar 7 Kejora Al-Huda salah satunya adalah Kak F. Rizal Alief. Di MA Nasy’atul Muta’allimin pun beliau tetap menjadi tutor saya. Sebab, sejak saya sekolah di MA Nasy’atul Muta’allimn, sejak itu pula beliau mengajar B. Indonesia di MA Nasy’atul Muta’allimin. Jadi, saya tetap belajar ke beliau. 

    Beberapa kali selama MA, sekolah menunjuk saya bersama beberapa teman lainnya untuk mengikuti lomba baca puisi maupun lomba cipta puisi. Seringkali. Mengalami tidak juara pernah. Dan menjadi juara alhamdulillah juga pernah. Semuanya belajar sama Kak Rizal. Baik itu baca puisi, maupun cipta puisi. Dan beliau pulalah yang selalu dipercayai oleh sekolah untuk mendampingi saya dan beberapa teman saya lainnya yang juga berbakat dalam membaca dan cipta puisi. 

    Pengalaman saat MA, yang tidak akan pernah saya lupakan dan begitu menyentuh hati saya, adalah pada saat saya menjadi juara 1 lomba cipta dan baca puisi islami kandungan Al-Qur’an dalam ajang AKSIOMA di tingkat Kabupeten, hingga mengantarkan saya menjadi perwakilan Kabupaten Sumenep untuk mengikuti ajang AKSIOMA di tingkat provisi yaitu di Tuban. Judul puisi yang menjadi juara 1 itu, adalah “Samudera Air Mata”, saat itu saya mengambil lotre, dan tema yang harus saya jadikan puisi adalah kandungan Surat Al-Ghosiyah. Sempat sedih karena gagal belum juara di tingkat provinsi. Namun, dibalik semua itu ada hikmahnya. Membuat saya terus menulis, dan seakan punya hutang untuk terus menciptakan karya yang lebih baik lagi. 

    Pada masa MA dulu, puisi-puisi saya cenderung berupa puisi untuk Kanjeng Nabi dan tentang kandungan Al-Qur’an, beberapa juga ada tentang kearifan lokal budaya Madura. Puisi saya yang berjudul “Entar Majhang” alhamdulillah menjadi juara 2 se-Madura dalam lomba cipta dan baca puisi di acara Aryaseda II Universitas Wiraraja Sumenep. Saat itu saya kelas 1 MA.  

    Hingga kuliah di perguruan tinggi, saya pun tetap menulis puisi. Walau sempat vakum lama karena lebih memilih untuk mengerjakan tugas-tugas akademik mata kuliah, yaitu membuat makalah dan tugas-tugas lainnya. Banyak sekali tugas-tugas kuliah saya, sampai saya jarang untuk menulis puisi atau tulisan sastra lainnya. Padahal anak prodi Sastra Inggris. Sebenarnya ini adalah kesalahan saya yang kurang bisa membagi waktu. Atau saya terlalu terlena di sela-sela waktu santai yang saya miliki sehingga tidak dibuat untuk menulis. Atau bisa jadi juga disebabkan karena terlalu keasyikan bermain medsos. Maklum, baru pertama kali dikasi HP sama Ibu sejak kuliah. Punya HP Android juga baru pada saat kuliah. 

    Namun, tidak berarti medsos selalu memberikan dampak negatif terhadap saya. selain memberikan kemudahan dalam mendapatkan informasi dari dosen, saya juga memanfaatkan medsos seperti instgram, facebook, line, dan WhatsApp untuk mencari informasi lomba-lomba cipta puisi di situ. Sistem dunia kuliah yang saya jalani benar-benar 180 derajat bebeda dengan hidup yang saya jalani saat sekolah dulu. Kalau dulu dijadikan delegasi oleh sekolah untuk ikut lomba baca atau cipta puisi, saat kuliah tidak lagi. Saya sendiri yang mencari dan mengikutinya mengatasnamakan kampus. Entahlah, menurut opini saya, seharusnya prodi juga mengurusi ini, mendukung atau menawarkan mahasiswanya untuk mengikuti lomba-lomba cipta puisi semacam ini. Soalnya kan prodi saya juga prodi sastra. Ketika juara, yang harum juga nama kampus. Dan akan mendukung akreditasi baru untuk prodi. 
 
    Akhir semester 1, alhamdulillah saya menjadi juara 2 dalam lomba cipta puisi tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh FKIP Universitas Sriwijaya. Hal ini begitu diapresiasi oleh organisasi beasiswa saya yaitu AMBISI (Aliansi Mahasiswa Bidikmisi) dan Himpunan Mahasiswa Prodi Sastra Inggris yaitu EDSA (English Development Student Association). Itu pada akhir tahun 2016. Pada tahun 2017 dan 2018 saya jarang menulis dan jarang juga mengikuti lomba-lomba cipta puisi. Minder ketika tidak dinyatakan juara juga pernah. Bahkan sampai mengalami keadaan kekurangan motivasi untuk menulis, merindukan sosok tutor yang bisa membimbing menulis, berdiskusi puisi, dan tadarus puisi seperti masa sekolah dulu. Hingga akhirnya saya meminta masukan-masukan dari senior saya di kampus dan meminta masukan Kak F. Rizal Alief terkait proses menulis saya yang dalam keadaan kritis. 

    Kakak senior saya dan Kak F. Rizal Alief pun memberi saya masukan, pencerahan, dan motivasi. Awalnya saya masih merasakan kegelisahan. Lalu, tiba-tiba saya suka menulis cerita pengalaman hidup saya yang kemudian saya posting di blog pribadi saya. Sebenarnya saya sudah punya blog sejak semester 1, sudah ada beberapa tulisan di sana yang saya posting. Hanya saja jarang sekali mengelolanya. Baru pada saat semester 6, sprit saya menggebu-gebu untuk menulis. Bahkan menulis lalu diposting ke blog pribadi menjadi sebuah kecanduan tersendiri pada akhirnya. Saya suka sekali berbagi cerita tentang pengalaman saya. Seakan saya tidak mau kenangan bahagia, sedih, dan pengalaman berharga terlewati begitu saja tanpa ditulis. 

    Dan, mulai semester 7, saya tiba-tiba kembali lagi kecanduan menulis puisi setiap hari. Semester-semester sebelumnya sangat jarang sekali. Paling 1 bulan cuma menciptakan 1 atau 2 puisi saja. Mungkin juga dikarenakan mata kuliah di semester 7 tidak sepadat semester-semester sebelumnya. Jadi saya memiliki waktu luang yang lebih banyak untuk menulis. Saya betul-betul merasakan diri dan jiwa saya kembali pada jati diri saya, yaitu menulis. Dengan menulis saya menemukan diri saya. Terasa nyaman, jiwa saya terisi, tidak tertekan, dan penuh penghayatan akan hidup dan alam semesta. 

    Hingga kemudian, sampai pada sebuah waktu, dengan proses menulis saya ini (penuh syukur alhamdulillah) mengantarkan saya menjadi juara 1 dalam lomba cipta baca puisi islmi di Universitas Airlangga yang diselenggarakan oleh Fakultas Sains dan Teknologi UNAIR dalam ajang ISEF 2019. Puisi saya yang menjadi juara 1 di UNAIR itu berjudul “Pelangi Kearifan”. Banyak sekali yang mengapresiasi, mulai dari musyrifah kamar saya yaitu Ustadzah Fatimah, seluruh pengurus Pesmi, kepala TPQ saya dan pengurus Ma’had Al-Jami’ah UINSA, yang mana saya sebelumnya meminta doa-doa beliau walau tidak semuanya, sebelum saya berangkat ke UNAIR. Bahkan Kaprodi saya (Ma’am Wahju) dan Prof. Zul yang sekarang menjadi dosen pembimbing skripsi saya mengucapkan selamat atas prestasi yang saya raih. Serta hal ini juga berkat selalu membaca karya-karya Kak A. Warits Rovi, beliau adalah tutor saya sejak MTs yang mana karya-karya beliau selalu saya baca di media online tanah air, prestasinya yang terposting di FB beberapa kali selalu menginspirasi saya untuk menulis.  

    Puisi-puisi yang saya ciptakan pada masa kuliah jauh lebih beragam dari masa sekolah dulu. Ragam puisi yang saya ciptakan itu, selain berdasarkan minat tema yang saya inginkan sendiri, juga mengikuti ketentuan tema dari panitia lomba yang saya ikuti. Banyak sekali lomba-lomba cipta puisi yang saya ikuti selama kuliah. Informasi itu saya cari sendiri semuanya dari instagram, di samping itu juga ada teman-teman yang menyebarkan informasi lomba cipta puisi di grup-grup WhatsApp. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Sampai saya buatkan schedule sendiri perbulannya untuk mengikuti lomba cipta puisi. Sebenarnya hal ini mulai saya praktekkan sejak lama, namun awalnya saya hanya menandai deadline lomba tersebut di laptop saya. Akan tetapi, sejak Oktober 2019, saya manage semuanya dengan rapi menjadi kalender bulanan untuk mengikuti lomba cipta puisi. Saya print, lalu saya tempel di kamar asrama saya. Alhamdulillah, hasilnya ternyata memang ada. Bulan Oktober, ada beberapa lomba yang saya juarai. Bulan November juga alhamdulillah ada. Dan bulan Desember pun alhamdulillah juga ada. Ya, hasil memang tidak akan pernah mengkhianati proses. Hasil itu adalah bonus untuk menghargai proses. Saya hanya kecanduan puisi. Maka, ketika ada salah satu atau beberapa lomba yang saya juarai, itu hanyalah bonus dari kecanduan saya. 

    Jadi, menulis itu butuh motivasi, isnpirasi, keistiqomahan, kekonsistenan, ketelatenan, banyak membaca karya-karya orang, serta terus berlatih menulis setiap hari. Menjadikan lomba-lomba sebagai media untuk belajar dan memacu diri untuk terus menulis lebih baik lagi. Intinya, penulis tidak boleh berhenti menulis, harus terus berlatih untuk menulis yang terbaik. Serta harus banyak baca untuk menulis kembali. Ya, membaca untuk menulis, dan menulis untuk membaca lagi. Terus seperti itu tanpa henti untuk belajar menulis. 

           
Proses Terbit
 
    Sudah sejak lama saya punya impian untuk menerbitkan buku karya saya sendiri. Sebelum saya berangkat kuliah ke Surabaya, saya sudah mengelist buku apa saja nanti yang harus saya tulis dan harus diusahakan betul-betul untuk terbit menjadi sebuah buku yang utuh. 

    Saya itu awalnya tidak tahu bagaimana cara menerbitkan buku. Nyari penerbitnya di mana, dan harus bertanya ke siapa. Hingga saya mencoba memberanikan diri ke Ustadz Shofi (salah satu musyrif di Ma’had Al-Jami’ah UINSA) untuk bertanya apakah Ustadz Shofi punya kenalan penerbit atau tidak. Beliau menjawab banyak. Namun, saat itu naskah saya masih belum rampung. Masih dalam tahap penulisan. 
 
    Kemudian, semester 6 akhir, tiba-tiba saya difollow oleh salah satu penerbit dari Sukabumi, namanya Farha Pustaka. Hingga membuat saya penasaran dengan penerbit ini. Saya pun stalking akun instagram Farha Pustaka. Pas saya stalking, wah saya langsung tertarik dan termotivasi untuk segera menyiapkan naskah saya agar bisa terbit di penerbit ini. Kalau tidak salah saat itu bulan Juli 2019. 

    Dan, saat itu pun, saya langsung sadar diri. Duh, iya ya, kenapa saya dari dulu tidak searching penerbit melalui instagram. Akhirnya, saya pun mencoba searching penerbit lainnya. Ternyata penerbit-penerbit terkenal dan ternama punya akun IG semua. Penerbit indie juga. Mulai dari gramedia pustaka, mizan pustaka, penebit sulur, prokreatif media, inspo creative, qultum media, quanta media, dan penerbit lainnya semuanya ada. Nah kan, sebenarnya HP android yang ada di dalam genggaman kita itu sudah menggenggam dunia. Tinggal kitanya saja, mau ikut pintar dan memanfaatkannya dengan baik atau malah tidak. Kita bisa searching apa saja di sini. Tinggal kita yang harus pandai untuk memilah dan memilih yang baik untuk hidup kita. 

    Bulan Agustus 2019, saya menghubungi admin Farha Pustaka. Awalnya saya hubungi melalui instagram, kemudian diajak untuk berdiskusi lebih lanjut melalui WA. Saya bertanya-tanya soal penerbitan di sini. Ternyata di sini menerbitkan naskah fiksi dan non-fiksi. Kemudian, saya bertanya apakah di sini juga menerbitkan antologi puisi pribadi atau tidak. Jawabannya adalah iya. Saya pun langsung menyusun naskah saya. Mencari dan mengumpulkan puisi-puisi saya yang dulu pernah di muat di buletin, pernah dimuat dalam antologi bersama, pernah juara, pernah dimuat di mading, dan puisi-puisi yang cukup dipertimbangkan oleh tutor menulis saya. 

    Naskah antologi puisi saya tersebut, saya susun selama bulan September 2019. Lalu pada bulan Oktober 2019, saya menghubungi Kaprodi saya, Ma’am Wahju Kusumajanti, M.Hum, untuk meminta beliau memberikan kata pengantar terhadap naskah saya. Menghubungi Kak A. Warits Rovi (tutor menulis saya sejak MTs) untuk meminta beliau mengulas naskah saya. Meminta Miss Dhina (dosen sastra saya) untuk membaca dan memberi masukan terhadap naskah saya. Dan meminta Ma’am Mirotin (dosen sastra saya), Mbak Birrul (motivator dan Awardee Bidikmisi di UGM), Mbak Fera (senior saya di sastra inggris dan penulis), Mbak Najwan Nada (penulis), dan Ustadzah Ulfa (editor di Cantrik Pustaka) untuk memberikan endorsment terhadap naskah puisi saya. 

    Awal November, saya susun kembali tulisan kata pengantar, ulasan, dan endorsment dalam naskah saya menjadi satu. Setelah selesai, langsung saya setor ke pihak penerbit, yaitu Farha Pustaka.
 
    Untuk menerbitkan buku di Farha Pustaka ini, persyaratannya tidak terlalu ribet. Malah penerbit ini sangat bersahabat. Tidak memaksa penulis untuk buru-buru menyelesaikan naskahnya. Bulan Agustus 2019, saya mendaftarkan diri saya untuk menerbitkan buku di sini. Memang, menerbitkan buku di sini masih berbayar. Ada periode promo penerbitan di sini. Saat itu saya memilih Paket 2 promo penerbitan, dengan membayar Rp. 300. 000. Yang mana nantinya saya akan mendapat 6 buku untuk saya sendiri, 2 buku diberikan ke perpusnas, dan 2 buku diberikan ke perpusda oleh penerbit. Mendapatkan sertifikat penulis, ber-ISBN, mendapatkan jasa editing, layout, dan design cover dari penerbit. 

    Penerbit tentu juga memiliki persyaratan dalam penulisan naskah, agar naskah kita langsung lolos terbit tanpa revisi. Diantaranya tidak boleh menyinggung SARA, kalau menyinggung SARA, HAM, dan semacamnya, naskah pasti akan tertolak. Kemudian, dalam penulisan naskahnya, harus mengikuti size paper, margin, spasi, dan font yang ditentukan oleh penerbit. 

     Alhamdulillah, naskah saya langsung terbit tanpa revisi. Hingga di akhir bulan November 2019, saya dikabari oleh penerbit bahwa buku telah dikirim ke saya. Awal Desember 2019, langsung saya rilis di seluruh akun media sosial yang saya miliki. Untuk penjualan harga buku ke publik, tentu dimusyawarahkan bersama penerbit, kira-kira cocoknya dijual dengan harga berapa. Setelah diberikan saran oleh penerbit, akhirnya harga buku saya itu terjual dengan harga Rp. 55.000. 
 
    Menulis itu asik, indah, dan menyenangkan. Menerbitkan buku sebelum saya lulus S1 memang merupakan salah satu di antara impian-impian terbesar saya. Semoga, dengan terbitnya atau lahirnya “Warna-Warna Langit”, saya akan diberikan kesempatan lagi oleh Allah untuk melahirkan karya-karya yang lainnya yang lebih baik dan bermanfat bagi banyak orang. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
 
    Karena “Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itu lah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.” (Seno Gumira Ajidarma)

Sumenep, 01 Februari 2020

Comments

POPULAR POST