SEPERTI BELAJAR PARENTING KETIKA BERSAMA HIMAM

 


Seperti Belajar Parenting Ketika Bersama Himam

    Sejak pulang kampug pada 22 Maret 2020, waktu-waktu bersama keluarga memang selalu menghangatkan dan paling dirindukan saat saya ada di tanah rantau. Sampai saat ini, saya belum pernah balik lagi ke tanah rantau. 
 
    Adanya sosok anak kecil di rumah, memang membuat rumah menjadi cukup ramai. Rengekannya, tangisannya, dan tingkah lucunya. Ya, dialah Himam, keponakan kedua saya yang lahir 14 Maret 2019, sudah mulai belajar berjalan. Dituntun sama Ibunya, Ayahnya, Neneknya, dan kadang juga saya. 
 
    Ketemu sama Himam pertama kali, baru pada saat ia berumur satu bulan. Pada April 2019 lalu, saya memilih pulang kampung di weekend kuliah. Saat Himam baru lahir, saya hanya bisa melihatnya melalui foto yang dikirimi oleh Rabith, keponakan pertama saya. Jujur, awal melihat fotonya Himam, mata saya langsung berkaca-kaca. Terharu dan ikut bahagia. Saya terharu karena wajah bayi mungil yang baru lahir itu mirip sekali dengan Alm. Ayah saya. Ya, dia wajahnya mirip sekali dengan kakeknya. Dan saya sangat bahagia, karena anak yang selama ini dinanti-nantikan, telah lahir ke dunia ini dengan selamat. Sebab, sebelumnya Mbak saya sudah dua kali mengalami keguguran. Saya masih ingat betul, dulu saat ada di samping Mbak pas keguguran, betapa sedihnya mengikhlaskan janin yang telah dikandungnya sudah berumur 4 bulanan lebih. Waktu itu saya masih MA, jadi masih ada untuk ikut menemani Mbak. Sejak kuliah, kita hanya berjumpa saat saya pulang kampung saja. 
 
    Ketika saya ada di Surabaya, biasanya saya pasti selalu meminta Syarifa, sepupu perempuan saya, agar mengirimi foto Himam. Telah seperti apa dia. Anak ini semakin lama ternyata semakin imut, lucu, dan menggemaskan. Bulu matanya panjang, lentik banget. Banyak sekali keluarga dan orang-orang yang bilang, mirip sekali dengan Alm. Ayah saya. 
 
    Selama di rumah, kalau nggak ada Himam rasanya sepi banget. Kalau nggak bermain sama dia, rasanya kurang asik. Orang-orang yang ada di rumah, semuanya kerjasama dan gantian untuk menjaganya. Misal, Mbak mau shalat, mau makan, atau mau mandi dulu, jadi si Himam di titipkan untuk dijaga dulu, ke Ayahnya, atau ke Ibu, ke saya, dan ke Bibi. Anak seumuran dia memang masih harus dijaga, dibersamai, takutnya jatuh, kalau jatuh kasihan nggak tega ketika dipijet. Anak kecil kan, masih tulang muda, jadi takutnya terkilir atau “leso/roge”(Red. Madura).  
 
    Kesan selama bermain dan jagain Himam itu, rasanya saya seperti ikut workshop parenting. Bantuin Mbak jaga, bukain-pakein bajunya, mandiin, pakein minyak telon, membedaki, memasang popoknya, lalu bermain bersamanya, dan mencoba memahami apa yang dia katakan. Namanya juga baru belajar berbicara, jadi kadang kami tak paham apa yang dia maksud. Seperti bahasa dari planet lain. Awalnya dia babling, lalu bisa mengucapkan satu huruf; a, i, u. Kemudian bisa mengucapkan dua huruf; mi, ma’, ya, yi’. Dia memanggil Umminya dengan sebutan Mi. Memanggil neneknya (Ibu saya) dengan sebutan Ma’. Ayahnya dipanggil Ya. Dan saya dipanggil Yi’ (Sebutan Bibi di Sumenep adalah Elli’). Hingga saat ini, dia sudah samar-samar bisa meniru apa yang kita ucapkan, sepatah dua patah, meskipun belum benar banget dan tidak semuanya bisa. Menurut saya, anak ini tumbuh kembangnya cepat banget. Kayaknya kalau dibuat penelitian psicholinguistics bisa banget ini, melihat pertumbuhan dan perkembangan Himam. 
 
    Oh iya, Maret lalu pas pertama kali saya pulang kampung, dia belum tumbuh gigi, jalan masih dituntun belajar. Sekarang, di bulan September 2020, giginya di bawah sudah ada 2 dan di atas sudah ada 4. Serta sudah bisa jalan dan lari-lari kecil. Kalau kecepetan larinya, kadang dia terjatuh. Pada fase-fase dia mau tumbuh giginya, dia sakit dulu sebelumnya. Nggak tega melihat anak kecil sakit. Ketika saya sentuh, kulitnya panas. Mbak, Ayahnya, dan kami sekeluarga cukup ekstra memperhatikan dia. Namanya orang desa ya, kalau pas sakit, kami itu tidak langsung lari ke rumah sakit. Jadi, kami pasti terlebih dahulu pakai obat herbal dari tumbuh-tumbuhan, seperti daun cocor bebek yang memiliki khasiat menurunkan panas, daun “ghar-aghar” (Red. Madura) yang dijadikan jamu, juga memiliki khasiat menurunkan panas. Pernah, Himam dibuatin jamu dari daun mimba, namanya anak kecil kan nggak ngerti apa-apa, jadi ya tetap diminum sama dia. Saya yang sudah gede ini, kalah sama dia, takut untuk minum jamu dari daun mimba, karena pahitnya minta ampun. Jadi ingat, dulu pas sakit saat kecil, saya diminuminjamu daun “ghar-aghar” juga sama Ibu
 
    Saya benar-benar melihat dan menyaksikan, betapa kompaknya Mbak dan Kak Arso (Suaminya Mbak) dalam menjaga, memperhatikan, dan mengurus Himam. Sosok suami-istri yang mengurus anak bersama, bagi waktu, gantian, bahkan Kak Arso yang kesehariannya ngajar di Madrasah, menyempatkan pulang dulu ke rumah, ingat Mbak yang jaga Himam. Bahkan Kak Arso pernah bilang seperti ini, sesibuk-sibuknya beliau punya jam ngajar, lebih capek orang yang jaga dan ngurusin anak. Saya sangat setuju sekali. Soalnya, saya kadang nggak lama ikut bermain dan jagain Himam, udah ngerasa capek aja. Apalagi Himam anaknya sangat aktif. Maunya ini, itu, ke sini, ke situ. Kalau kata Kiai Dardiri Zubairi; “Sesungguhnya, terkadang anak itu tidak selalu butuh mainan. Tetapi kita, orang tua, bermainlah bersama anak, karena mainan tidak bisa menggantikan kasih sayang yang ia butuhkan”. 
 
    Namanya anak kecil, ya pasti seumuran mereka mesti harus dijaga. Kenapa? Pernah, Himam hampir mau makan apa yang ada di bawah atau yang sudah ada di tanah. Ya kertas lah, daun lah, batu lah. Karena sesungguhnya bayi yang lahir ke dunia itu berjuang untuk belajar dan beradaptasi dengan lingkungan barunya. Sebelumnya ia berasal dari alam kandungan. Jadi, mulai sejak dini, ia perlu diajarkan mana yang boleh dan mana yang tidak. Seusia Himam adalah the great imitator, jadi dia belajar dengan cara meniru lingkungan di sekitarnya, dari apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar. Seperti dalam berbicara, harus diajak berbahasa halus. Begitu juga dari tingkah laku, melihat kakaknya bersilat-silat, dia pengen silat-silat juga. Melihat orang shalat, dia juga mengikuti gerakannya. Haduh, tak kuat saya menahan tawa melihat tingkah imitator-nya Himam. 
 
    Teringat dengan anak-anak ngaji saya di TPQ Hidayatullah Surabaya, anak-anak Pra-TK, yang masih kecil-kecil, imut, dan lucu. Di sini saya juga belajar banyak hal dari mereka. Serta melihat, bahwa betapa peran penting orang tua sangat dibutuhkan untuk anak seusia mereka. Ada yang memang Ibu dan Ayahnya menjadi support system utama mereka, ada malah kakek/neneknya yang begitu memperhatikan dan mengantarnya ngaji ke TPQ. Ada malah ART-nya yang dipasrahi untuk mengantar dan menemani ngaji anaknya. Dan saya melihat serta merasakan beragam keaktifan dari mereka. Ada yang penurut, ada yang masih suka main, ada yang suka berisik, ada yang pemalu, ada yang pendiam, ada yang suka mencari perhatian, ada yang bertingkah manja, dan lain-lain. Kehadiran dan peran sosok orang tua mereka yang paling terasa adalah pada saat ngaji daring. Hampir semua yang berperan aktif menemani ananda tercinta adalah Ibunya. Ada malah sosok Ayahnya. Ada pula yang gantian, kadang Ibu kadang Ayahnya. Ada juga yang tak sempat ikut ngaji online dengan alasan orang tuanya disibukkan dengan pekerjaannya. Namun, ada juga yang Mamanya bisa membagi waktu meskipun punya dinas kerja, masih sempat untuk menemani anak ngaji dan mengirim laporan. Al-Ummu Al-Madrasatul Ula, seorang Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kalimat ini, seakan-akan terasa perlu untuk kembali dijadikan introspeksi dan muhasabah bersama. Belajar huruf hijaiyah, mulai dari ا-ÙŠ, adalah pondasi utama yang perlu diajarkan sejak dini. 
 
    Selama membersamai Himam, dalam benak saya bergumam, saya tak ingin terlalu tua untuk menikah dan juga tak ingin terlalu tua untuk punya anak. Terlalu muda kurang baik, terlalu tua juga kurang baik. Banyak sekali cerita dari Mbak, soal mengandung dan melahirkan yang ia bagi. Mbak itu, awal menikah umur 16 tahun, tapi untuk punya anak menunggu dulu lima tahun (karena takut untuk melahirkan di usia muda). Jadi, Mbak itu punya anak pertama di umur 21 tahun, dan punya anak kedua di umur 33 tahun.  
 
    Soal menikah dan punya anak. Saya ingat sebuah cerita dari Ustadz Bahtiyar. Bahwa, teman Ustadz Bahtiar pernah bilang, katanya ingin punya anak setelah sukses, ketika udah punya mobil dan rumah sendiri. Pas menikah, bener, nggak langsung dikarunia anak, baru dikarunia anak setelah punya mobil dan rumah sendiri. Hikmah dari hal ini, berhati-hatilah dengan kata yang kita ucapkan, karena kata-kata bisa menjadi doa. 
 
    Seringkali, teman atau orang nanya ke saya, kapan mau nikah. Kata Alm. Ayah, jangan pernah bilang belum/tidak tahu. Tetapi, minta didoakan saja, agar dimudahkan dalam urusan jodoh serta diberikan jalan yang terbaik. Jangan pula menarget kapan akan menikah. Misal, menarget akan menikah setelah lulus S2. Untuk lulus S2-nya bisa saja lulus lebih cepat. Tetapi, apakah iya setelah lulus langsung ketemu dengan jodohnya.  
 
    Maka dari itu, kapan pun sosok jodoh saya datang, ketika dia mau sama saya, saya pun juga mau sama dia, begitu juga dengan keluarga di antara kami, ketika keluarga dia menerima saya beserta keluarga saya, dan keluarga saya juga menerima dia dan keluarganya, maka kenapa tidak untuk menikah. Jadi, hanya bisa berdoa, semoga diberikan kemudahan dan yang terbaik dalam urusan jodoh. Aamiin.

Sumenep, 28 September 2020

 

Comments

POPULAR POST