HADIAH DARI TULIS.ME

 


Hadiah dari Tulis.me

    Bulan Desember 2019 lalu, tiba-tiba ada pesan masuk di WhatsApp saya. Isi pesannya adalah sebuah ucapan selamat, katanya saya merupakan salah satu juara di Lomba Menulis Puisi Tingkat Nasional ke-7 dari Tulis.me. Panitia yang mengirim pesan tersebut tidak memberi tahu saya juara berapa saat itu, disuruh cek di www.tulis.me langsung.

  Saya pun segera cek di website tersebut. Setelah saya cek, ternyata benar, ada nama saya di situ beserta judul puisi saya di nomer tiga, sebagai juara 3. Alhamdulillahirabbil’alamin. Tidak menyangka. Saya mendapat pesan itu saja merasa surprise. Setelah cek di websitenya, saya cek juga di instagram, benar ternyata Pengumuman Pemenang Lomba Menulis Puisi dari Tulis.me telah di post. Saya tak ingat kalau hari itu adalah hari pengumumannya, karena ketepatan waktu itu saya lagi berpartisipasi di acara Comparative Study Meeting Ma’had Al-Jami’ah di Twin Tower.

   Lima besar pemenang Lomba Menulis Puisi Tingkat Nasional ke-7 oleh Tulis.me ditampilkan di feed official account instagramnya Tulis.me ;

1. Caravansary oleh Eko Setyawan

2. Syair Kecil untuk K.H.R. As’ad Syamsul Arifin oleh Ita Puspita Sari

3. Entar Lalabat oleh Siti Ramlah

4. Puisi dari Polandia oleh Stanislaus Flaviflorius Joshua

5. Berdialog dengan Kaca oleh Rizaldi Noverisman

    Pada hari itu juga saya dimintai nomer rekening untuk dikirimi uang pembinaan serta dimintai testimoni juga oleh perwakilan panitia Tulis.me. Keesokan harinya tiba-tiba ada pesan masuk lagi beserta bukti transfer bahwa uang hadiah sudah ditransfer. Wah, Alhamdulillah sekali ya Allah, uangnya benar-benar masuk di rekening saya. Hadiah sebagai juara 3 diantaranya adalah uang Rp.1.000.000, buku hadiah, buku antologi puisi 100 karya terbaik ber-ISBN, dan e-sertifikat. Katanya untuk buku hadiah dan buku antologi puisinya akan dikirimkan ke alamat yang pernah saya isi di form pendaftaran dulu, tapi harus menunggu cukup lama, karena proses cetak buku antologi puisinya membutuhkan waktu selama 3 bulan. Dan katanya juga, jika alamatnya berbeda dengan yang dulu untuk pengiriman buku-bukunya nanti, saya disuruh hubungi panitia.

    Pada tanggal 15 Juni 2020 yang lalu, saya dihubungi kembali oleh panitia bahwa buku antologi puisinya sudah selesai dicetak. Saya pun konfirmasi bahwa alamat saya dengan yang dulu, yang pernah diisi di form pendaftaran sudah berbeda. Dulu saya mengisi alamat tempat tinggal saya di Surabaya. Sedangkan saya ada di Sumenep. Jadi, saya kasih alamat rumah saya di Sumenep ke panitia yang menghubungi saya, agar dikirimkan ke Sumenep.

    Dan, pada 24 Juni 2020, seorang kurir datang mengantarkan buku-buku hadiah dari Tulis.me ke rumah. Ya, buku antologi puisi 100 besar Lomba Menulis Puisi Tingkat Nasional ke-7 oleh Tulis.me dan buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (The Subtle Art of Not Giving a Fuck) karya Mark Manson. Sebenarnya untuk buku hadiahnya ada dua pilihan. Pilihan pertama yang itu karya Mark Manson, pilihan kedua buku “Mantappu Jiwa” karya Jeromi Polin. Tapi saya lebih memilih bukunya Mark Manson. Dulu pas isi form pendaftaran ada pertanyaan, di antara kedua buku tersebut, mana yang saya inginkan. Lalu, saya pilih buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Saya pun mengabari ke panitia, kalau bukunya sudah sampai. Lalu, saya diminta sama panitia agar saya berfoto bersama kedua buku hadiah itu, sebagai dokumentasi dan sebagai bukti juga untuk lomba puisi berikutnya.

    Untuk puisi saya yang berjudul “Entar Lalabat” yang menjadi juara 3 tersebut, bisa di baca di bawah ini.

Entar Lalabat[1]

 

Ketika ada ajal menjadi senja yang menangis

Setiap hati kami membuka pintu dan jendela meski langit bergerimis

Mempersilahkan angin mengantarkan wangi bunga kamboja

Hingga gugur satu persatu kenangan manis

 

Sebelum gerimis reda, kami pun mengunjungi rumah yang berair mata

Membawa seteng-teng beras sebagai rasa belas yang tiada batas

Meski kami tahu bahwa rasa duka ini tak cukup mengganti bahagia yang terlepas

Namun kami hanyalah saudara, anak, pasangan, dan orang tua yang juga berusaha ikhlas

 

Para tetangga tangguh yang telah hidup bersama suka-duka

Meneteskan rasa kehilangan melalui keringat di badan

Saat mencangkul untuk menggali kuburan

Sampai galian liang yang dalam mewakili jatuhnya air mata

 

Sedangkan tetangga perempuan memotong gelombang kesedihan

Di dapur yang penuh dengan bunyi keluh kesah di atas tungku

Asapnya pun membuat mata semakin perih

Lalu, pekat hitam kesedihan itu ditumbuk menjadi kopi sampai halus

 

Selama tujuh hari tujuh malam wangi kemenyan menemani tahlil dan doa-doa

Pergi ke langit hingga bintang-bintang dan purnama turut mengamini

Dan esok hari, matahari terbit menghangatkan setiap dada

Yang berdatangan dari segala arah dalam keadaan masih basah

 

Ya, kami yang menangis di bawah langit Madura

Selalu bersama dalam suka duka

 

Surabaya, 17 Oktober 2019



[1] Lalabat adalah tradisi melayat orang mati di Madura

Comments

POPULAR POST