MEMAKNAI SALAMEDDAN BULAN MUHARRAM DAN BULAN SHAFAR
Memaknai Salameddan Bulan Muharram dan Bulan Shafar
;Tajin Sora dan Tajin Sappar
Oleh: Siti Ramlah
Di Madura banyak sekali metode-metode selamatan (salameddan) yang dilaksanakan pada hari, bulan, momen, dan waktu tertentu. Semua itu memiliki tujuan dan maksud yang beragam. Misalnya bermaksud untuk nyalameddi aba’ (selamatan untuk diri sendiri), are katerbi’an (hari kelahiran), mendoakan keluarga yang ada di alam kubur, mau bepergian, mendapat keberuntungan, dan semacamnya.
Lihat saja, seperti tradisi salameddan ketika bulan sora (Muharram) dan sappar (Shafar). Saat kedua bulan ini tiba, masyarakat Madura pasti melakukan tradisi salameddan dengan cara ter-ater. Sebab inti dari selamatan ini bertujuan untuk selalu menghormati bulan hijriyah dan ingin mendapatk keberkahan.
Tajin Sora |
Pada bulan sora atau bulan Muharram, yakni bulan pertama dari kalender hijriyah atau qomariyah, masyarakat Madura pasti membuat bubur yang disebut tajin sora. Tajin sora ini adalah tajin beras berkuah pathe (santan masak) yang di atasnya diberi irisan telur dadar, kecambah goreng, sekkol (parutan kelapa yang telah digoreng), dan udang. Semua itu sebagai simbol keragaman dan semangat persatuan antar sesama manusia. Dan kehadiran tajin sora pada bulan Muharram, yaitu di bulan yang diharamkan berselisih dan membersar-besarkan masalah, memberi motivasi perdamaian dengan rasa saling menghormati dan menghargai identitas yang berbeda-beda.
Uniknya, masyarakat Madura enggan membeli suatu barang apa pun jika belum membuat tajin sora. Karena mereka takut barang yang dibeli tidak berkah dan na’as (mengakibatkan bencana). Tajin sora ini biasanya dibuat pada tanggal 10, 15, atau 20 (penanggalan hijriyah) oleh kebanyakan masyarakat Madura. Kemudian diantar ke langgar (ndalem Kia atau guru ngaji mereka) dan ke tetangga dekatnya sataneyan lanjang (halaman rumah yang bersambung dengan halaman rumah tetangga). Secara kebetulan, pembuatan tajin sora ini antara satu keluarga dengan keluarga yang lain dalam satu kampung bisa terjadi bersamaan. Hingga disamping si satu keluarga ter-ater (memberi) tajin sora, ia pun juga eaterre (diberi) tajin sora oleh keluarga lain di sekitar rumahnya. Ya, yang jelas tidak dikatakan barter lah pokoknya. Tujuannya sama-sama untuk selamatan dan terro arebba’a (ingin bersedekah).
Khusus bagi masyarakat Madura yang kurang mampu atau tidak punya banyak uang dan memiliki kesibukan lain untuk membuat tajin sora dalam porsi yang banyak untuk diberikan ke langgar dan tetangga, maka mereka membelinya beberapa bungkus di pasar tradisional Madura kira-kira seharga seribu atau dua ribu rupiah perbungkusnya. Itu sudah cukup untuk ekasalamet (disedekahkan) kepada orang yang dikehendakinya. Bisa anak kecil, anak yatim, tetangga sendiri, atau orang yang mereka anggap layak menerima salameddan darinya.
Tajin Sappar |
Sedangkan pada bulan Shafar, justru terdapat tajin sappar yang berupa bubur manis merah-putih dari tepung dan gula merah berkuah santan mentah. Makna merah-putih dari tajin sappar itu adalah untuk diidentikkan dengan cucu Nabi Muhammad SAW yang bernama Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Ada juga yang berpendapat dimaksudkan untuk mengenang atas wafatnya Sayyidina Husein di perang Karbala. Sebagaimana tajin sora, tajin sappar juga merupakan wujud salameddan yang diantar ke langgar dan ke tetangga di jubara’, jadimor, jarajha, dan jalau’ (arah barat, timur, utara, dan selatan rumah), untuk menghapus pengaruh tidak baik di bulan Shafar dan rsebagai rasa syukur atas hidup yang dijalani.
Dari sini, kedua metode selamatan di atas, bagi saya semuanya nampak jelas bahwa kultur orang Madura itu searah dengan ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Konsep sedekah, kehidupan bertetangga, dan sosial kemasyarakatan, dihadirkan dengan dasar-dasar faham keagamaan yang menjadi identitas dalam bersikap. Apalagi metode selamatan dengan cara ter-ater itulah, membuat saya teringat akan posisi tetangga dalam pandangan syari’at islam, sehingga kita harus menghormati tetangga di sekitar kita. Seperti diceritakan di dalam sebuah hadis, ada seorang perempuan yang selalu dipuja karena dia banyak shalat, berpuasa, dan juga bersedekah, hanya saja dia sering menyakiti tetangganya dengan kata-katanya, Rasul pun berkata bahwa perempuan itu akan masuk neraka. Disamping itu juga ada seorang perempuan yang diremehkan karena dia sedikit shalat, berpuasa, dan juga sedikit bersedekah, akan tetapi dia selalu berusaha bersedekah walau hanya dengan potongan-potongan dodol yang dimilikinya, dan dia tidak pernah menyakiti tetangganya dengan kata-katanya, Rasul pun berkata bahwa perempuan itu akan masuk surga.
Dan tradisi salameddan dengan cara ter-ater tajin sora dan tajin sappar di sinilah, membuat kita sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita akan selalu bersinggungan atau ada keterkaitan dengan tetangga kita, seperti meminta bantuan, mencari pinjaman uang, saling jenguk ketika sakit, dan berbagi kebahagiaan saat mendapat keberuntungan. Kalau bukan kepada tetangga kita, lantas kepada siapa lagi. orang-orang jauh tidak mungkin bisa untuk selalu kita pintai pertolongan dalam waktu mendadak. Benar bukan.
Bahkan pada sisi yang lain saya juga teringat akan perkataan reng seppo kona (orang tua zaman dahulu), “senga’, mon akella gengan, aengnga pabannya’e, reng jubara’ ban jadimor malle melo keya” (jangan lupa, kalau membuat kuah daun kelor, perbanyaklah airnya, agar tetangga yang ada di samping kanan kira rumah kebagian juga). Hal ini berarti mengingatkan kita, bahwa kita itu tidak boleh menyakiti tetangga dengan bau tungku kita kecuali kita memberi mereka akan isi tungku tersebut.
Sumenep, 2016
Comments
Post a Comment
Beri komentar, kritikan, saran, dan masukan yang membangun. Terima Kasih! Salam Sastra dan Literasi!