BERSEPEDA KE TPQ

 


Bersepeda ke TPQ

    Sejak awal kuliah, saya memang ingin sekali bisa berbaur sama anak-anak. Bahkan, saya masukkan dalam list impian saya. Dari sekian banyak broadcast yang teman-teman share di grup WhatsApp, kebanyakan adalah lowongan untuk menjadi pengajar atau memberikan les private anak-anak. Kebetulan, waktu itu yang mereka share tempatnya jauh-jauh semua, sedangkan saya belum punya dan belum bisa naik sepeda motor.

    Barulah di awal semester 5, saya menemukan broadcast, yaitu dicari guru ngaji di sebuah lembaga TPQ. Setelah saya cek lokasinya melalui google map, ternyata tidak jauh-jauh amat dari kampus. Pikir saya, bisalah nanti pakai sepeda onthel.

    Salah satu kualifikasi guru ngaji yang dibutuhkan adalah punya syahadah Ummi. Padahal, saya tidak pernah belajar ngaji pakai metode Ummi di kampung halaman saya. Saya dulu belajar ngajinya di surau atau biasa disebut langgar oleh masyarakat desa setempat serta belajar tajwid di madrasah yang berada di bawah naungan pondok pesantren tradisional yang ada di desa, memakai kitab tarbiyatus shibyan, hidayatus shibyan, tuhfatul athfal, jazariyyah, dan hidayatul mustafid. Dengan niat hati untuk selalu belajar dan mengamalkan ilmu, saya pun mencoba menghubungi contact person yang tertera di broadcast tersebut, meskipun belum memiliki syahadah Ummi.

    Saya pun menjelaskan pada contact person tersebut, terkait diri dan latar belakang belajar ngaji saya sesuai pengalaman hidup saya. Lalu, saya dites untuk membaca Surat Huud ayat 41-42 melalui WhatsApp. Kemudian, keesokannya contact person tersebut mengabari bahwa saya disuruh datang ke lembaga TPQ itu dengan membawa KTP dan CV. Waktu itu sebenarnya saya masih mikir, saya diterima ataukah tidak. Lalu, dipikir-pikir lagi dan disimpulkan sendiri, kalau tidak diterima ngapain kok disuruh datang ke sana.

    Padahal, sebenarnya saat itu saya belum punya sepeda onthel, rencana kalau memang diterima di lembaga TPQ tersebut, baru saya mau beli. Akhirnya, saya berangkat naik grab car untuk pertama kalinya datang ke lembaga TPQ tersebut. Sekarang, kalau ingat hal itu, saya jadi senyum-senyum sendiri akan waktu itu. Astaga, kok saya sok kaya banget sih dulu naik grab car, sendirian lagi, hanya karena tidak mau naik grab bike, dari saking menghindari bonceng sama yang bukan mahram. Wkwkwk. Sampai segitunya.

    Hari kedua ke TPQ, saya naik sepeda onthel, tapi masih pinjam punya Ustadzah Fatimah. Seminggu kemudian, saya pun sudah beli sepeda onthel seharga Rp.235.000. Ya, beli ini dulu lah ya. Untuk beli sepeda motor harus nabung dulu, disamping itu saya juga masih belum bisa caranya mengendarai sepeda motor. Intinya, yang penting bisa dipakai buat ke TPQ. Toh, niatnya juga digunakan untuk ibadah, mencari ridha Allah.

    Suatu hari, ada beberapa orang yang bertanya, kenapa saya bisa kerasan dan survive ngajar di TPQ tersebut. Jawabannya adalah, saya selalu berusaha untuk konsisten pada pilihan saya selama itu baik dan ada di jalan yang benar. Masuknya ke TPQ tersebut pun, saya sendiri yang daftar, dan saya sendiri yang mau. Tidak pakai orang dalam yang memasukkan. Memang, di lingkungan baru itu, ya tentu butuh yang namanya adaptasi dengan orang-orang di dalamnya. Di sisi lain, malah di lembaga TPQ tersebut ilmu tajwid saya bertambah. Yang sebelumnya belum tahu, akhirnya menjadi tahu karena di lembaga TPQ tersebut para gurunya juga dimonitoring untuk terus belajar dan mengupgrade diri, sampai saya diikutkan tashih Ummi oleh kepala TPQ.  

 

Catatan Perjalanan Hidup

Sumenep | 06 Agustus 2020

Comments

POPULAR POST