BERKUNJUNG KE KERATON SUMENEP
Berkunjung ke Keraton Sumenep
Percaya atau tidak, ini adalah pertama kalinya kaki saya berpijak di Keraton Sumenep. Hah, kok bisa? Dari dulu kemana saja kok belum pernah ke sini? Ada kok. Ya, maklum lah ya, kan anak rumahan (Ceileh). Bisa dikatakan sangat jarang keluaran jauh kalau tidak dalam pengawasan atau bersama keluarga/guru. Seakan akan bisa dikatakan there is no time to hang out or nongkrong keluar sama teman.
Emang iya, dulu sebelum merantau, setiap sebelum langkah kaki ini beranjak keluar rumah, wajib izin dulu sama orang tua. Dan pada saat itu lah, ditanyain mau kemana, sama siapa, kepentingan/keperluannya apa, dan naik apa. Kalau tidak lolos seleksi wawancara tersebut, sekali tidak boleh, maka keputusan juri/kurator tidak bisa diganggu gugat. Wkwkwk.
Dulu, kalau keluar itu, karena kepentingan ziarah sekolah, menjadi delegasi sekolah untuk ikut lomba, dalam pengawasan guru. Pergi ke kota pun pasti dengan keluarga/saudara di rumah. Kalau mau pergi ke kecamatan, bisa sama teman sekolah, dibolehkan dengan teman yang sudah dikenal baik dan dipercaya sama orang tua. Itu pun tentunya dengan teman perempuan ya.
Alhamdulillah, untuk keinginan mengunjungi Keraton Sumenep ini dibolehkan. Karena bersama Alvi dan Linda, teman perempuan yang sudah dikenal baik sama orang tua. Jadi, sebenarnya saya, Alvi, dan Linda mau balik ke Surabaya di hari itu pada siang harinya. Nah, pagi harinya kami menyempatkan untuk ke Keraton Sumenep. Untuk mengajak Alvi (teman kami yang asal Aceh tersebut) untuk melihat wisata dan musium di Keraton Sumenep.
Ya, ini benar-benar pertama kalinya saya menyaksikan dengan mata saya sendiri rupa Keraton Sumenep, di tahun 2019. Pertama kali selama hidup di dunia. Di dalam Keraton Sumenep ada wisata Labang Mesem (Pintu Utama Keraton), Kolam Pemandian Potre Koneng, Pendopo, Musium yang berisi peninggalan sejarah, artefak, kereta, dll.
Lokasi keraton ini, dari Masjid Jami’ Sumenep itu lurus, terbentang dari sebelah barat ke timur (Masjid Jami’-Taman Adipura (Alun-Alun)-Keraton) membentuk seperti Taneyan Lanjang, sebagaimana ciri khas hidup bersosial masyarakat sekitar dengan tetangga sendiri yang saling mengenal dan bergotong-royong.
Adapun tempat-tempat wisata dan bersejarah lainnya di Sumenep, masih banyak yang belum pernah sama sekali saya datangi. Seperti Asta Tinggi dan Asta Yusuf, belum pernah saya kesana. Hal ini bukan karena sayanya yang tidak mau. Tetapi peluang kesempatannya yang mau kesana belum menghampiri saya. Tentu saya sangat dan pengen banget ke sana. Jangan ditanya lagi. Ya, semoga suatu saat saya bisa datang ke sana. Semoga Allah hadirkan orang-orang dan peluang yang bisa membawa saya ke sana.
Kalau berangkat sendiri tidak bisa? Aduh, begini. Ini sangat ada sangkut pautnya dengan soal perizinan dengan orang tua yang pasti akan ditanya-tanyai alasan kenapa mau ke sana dan lain-lain yang bisa membuat orang tua percaya untuk memberikan izin. Kalau berangkat sendiri, saya mau naik apa? Naik sepeda motor saja belum bisa. Naik angkot? Di Sumenep tidak ada angkot. Adanya taksi/mobil L300 yang tujuannya biasanya kalau ke kota itu, berhenti di Pasar Anom (tradisional) Sumenep. Jadi, tidak ada angkutan umum yang mengantar ke tempat-tempat wisata. Baru kalau perginya bersama rombongan, bisa nyewa mobil untuk ke sana. Jangan kaget dan bingung ya. Kehidupan di kota besar dan di desa itu beda drastis. Grab Car, Go Car, Gran Bike, Go Jek, Nu Jek, semuanya masih belum familiar dan terkenal di sini. Sebenarnya ada beberapa pengguna di daerah kota Sumenep, hanya saja jarang.
Bahkan, dari saking saya sangat jarang sekali tidak keluaran kemana-mana, sampai ada orang yang menjuluki saya layaknya Burung Cendrawasih dalam Sangkar Emas. Wkwkwk. Kalau kata orang Madura Elebbeng.
Catatan Anak Perempuan Madura
Sumenep | 19 Agustus 2020
Comments
Post a Comment
Beri komentar, kritikan, saran, dan masukan yang membangun. Terima Kasih! Salam Sastra dan Literasi!