KEMAMPUAN LITERASI MENJADIKAN MASA DEPAN BERKUALITAS


KEMAMPUAN LITERASI MENJADIKAN MASA DEPAN BERKUALITAS

“Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas karakter, kompetensi dan kesejahteraan hidup seseorang, adalah dengan menanamkan budaya literasi (membaca-berpikir-menulis-berkreasi). Cara terbaik untuk menanamkan budaya literasi yang kuat pada seseorang adalah dengan menjadikannya sebagai seorang penulis. Karena setiap penulis, secara otomatis akan melewati tahapan membaca, berpikir, dan tentu saja menulis serta berkreasi.” (Lenang Menggala, Founder Gerakan Menulis Buku Indonesia)
Qoutes di atas memberikan pencerahan bahwa setiap orang harus memiliki kemampuan literasi, karena literasi itu merupakan dasar untuk belajar sepanjang hidup. Belajar itu dibutuhkan untuk membaca, baik membaca buku, keadaan, lingkungan, dan alam sekitar. Dengan membaca maka kita akan berpikir dan mengkritisi suatu hal, baik fenomena, kejadian, maupun sebuah karya. Proses berpikir bisa ditransfer dengan berani mengungkapkannya secara lisan yakni berbicara, maupun tulisan yakni dijadikan sebuah karya tulis misalnya seperti tulisan ilmiah atau fiksi. Jadi kemampuan literasi benar-benar bisa meningkatkan kualitas setiap individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Dan seseorang akan dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa yaitu membaca dan menulis. Dari sini, makna dasar literasi sebagai kemampuan baca-tulis merupakan pintu utama bagi pengembangan makna literasi secara lebih luas.

Menjadi penulis / menulis merupakan cara terbaik untuk menanamkan budaya literasi. Karena dengan menulis apa yang telah diperoleh dari hasil proses membaca dan berpikir bisa ditransfer atau diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga berabad-abad lamanya.

Dalam sejarah peradaban islam, kita bisa menengok bahwa tradisi literasi telah berhasil melahirkan para pemikir, ulama-ulama klasik, dan intelektual muslim yang hidup ratusan tahun yang lalu, namun karena mereka memiliki karya tulis, mereka tetap dikenal dan tulisan-tulisannya masih tetap dipelajari di lembaga pendidikan, khususnya pesantren. Jadi tidak salah jika ada pepatah yang mengatakan bahwa dengan kita membaca, kita akan mengenal dunia sedangkan dengan menulis maka kita akan dikenal oleh dunia. Buktinya kitab-kitab karya intelektual muslim dan para ulama menjadi warisan intelektual yang sangat berharga bagi pengembangan khazanah islam dari generasi ke generasi.

Tulisan itu juga berfungsi untuk merekam jejak sejarah yang berupa peristiwa, pemikiran, dan ilmu pengetahuan di masa lampau. Jadi tidak salah jika ada pepatah yang mengatakan bahwa tulisan itu merupakan “tali/pengikat” dari sebuah ilmu. Jika ilmu tidak ditulis dan tidak dicatat, maka akan cepat hilang dan terlupakan.

Dalam dunia pendidikan, baik mulai dari tingkat dasar hingga di perguruan tinggi, tulisan mutlak sangat diperlukan. Buku-buku bacaan/pelajaran serta buku referensi dan jenis buku lainnya diperlukan sebagai sarana untuk belajar oleh para siswa-siswi dan mahasiswa/i. Tanpa membaca dan menulis/tulisan, proses transformasi ilmu pengetahuan tidak akan berjalan.

Jika budaya literasi tidak berjalan dalam dunia pendidikan, misalnya di perguruan tinggi, maka perlakuan atau tindakan plagiarisme bisa saja dilakukan oleh mahasiswa/i dalam proses belajar, nyomot sana sini karena tidak mau membaca dan berpikir serta menuliskan pemikirannya sendiri. Plagiarisme tidak hanya bisa terjadi saat mahasiswa/i di perguruan tinggi membuat makalah, namun juga bisa terjadi di sekolah-sekolah kelas menengah, misalnya dapat tugas mengarang cerita, puisi, essai, dan semacamnya. Jika mereka tidak memiliki dasar membaca yang matang, maka mereka tidak akan tahu bagaimana cara membuat semua karya di atas. Yang ada malah nyontek dan ambil di internet. Oleh karena itu dasar membaca harus dibudayakan dalam dunia pendidikan.

Berbicara minat baca, Kompas.com memberitakan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yakni Puan Maharani di gedung Perpustakaan Nasional Jakarta pada hari Senin, 26 Maret 2018.

Beberapa solusi untuk menanmkan budaya literasi, baik mulai dari tingkat sekolah dasar hingga di perguruan tinngi adalah; Pertama, bagi setiap siswa/i dan mahasiswa/i yang rajin ke perpustakaan untuk membaca buku nanti di setiap akhir semester misalnya diberi reward atau semacam penghargaan. Bisa juga dengan menggelar event literasi, seperti menulis cerpen, puisi, meresensi buka, dan lain-lain. Kedua, berdasarkan pengalaman saya, dulu waktu MA, kepala sekolah mengadakan program wajib baja 1 buku tebal untuk dibaca dalam 1 semester, serta buku itu harus diresensi. Hasil resensi yang baik nanti diambil 3 terbaik dan diberi penghargaan. Ketiga, mendiskusikan mata pelajaran/kuliah di dalam kelas, misalnya seperti diskusi kelompok dan presentasi, hal ini akan melatih untuk menyampaikan perbedaan pendapat, berargumentasi, dan berpikir kritis. Jika seseorang tidak memiliki dasar membaca, maka pasti dia tidak akan bisa berbicara atau menyampaikan apapun untuk beropini, menyela, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kritis. Oleh karena itu, membaca banyak buku, sumber, dan referensi sangat penting untuk dijadikan pondasi dalam keilmuan. Ketika pengetahuan sudah luas, kita bisa merangkumnya, mengambil kesimpulan, dan menjadikannya sebuah tulisan yang utuh.

Jadi dengan banyak memiliki pengetahuan dari berbagai sumber,  tidak akan membuat kita sebagai generasi millenial mudah mempercayai Hoax, karena kita telah bisa memilah atau menyeleksi kebenaran informasi dengan mengacu kepada sumber bacaan yang tidak diragukan kebenarannya.

Oleh karena itu, budaya literasi harus dilestarikan dan ditanamkan terhadap seluruh lapisan masyarakat, agar kita semua tidak mudah dibodohi atau dibohongi oleh seseorang atau pihak tertentu. Dengan semangat literasi inilah masyarakat indonesia bisa memerangi ancaman-ancaman yang ingin memecah belah bangsa di zaman yang sudah sangat canggih ini. Terutama ancaman-ancaman yang masuk di media sosial. Oleh karena itu, kita harus bisa membaca, berpikir, kritis, dan mentranformasikan ke dalam tulisan yang berdasar pada pakar ilmu, buku-buku yang ditulis oleh penulis yang tidak asal-asalan. Cara meningkatkan literasi, bisa juga dengan menjalankan program 6M, yaitu mengamati (observe), mencipta (create), mengkomunikasikan (communicate), mengekspresikan (appreciate), membukukan (post), dan memarkan (demonstrate).

Jadi, literasi yang baik memiliki dampak terhadap kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Jika generasi suatu bangsa tidak tahu apa-apa dan tidak mengerti apa-apa, mereka akan dengan mudah dijajah, dibodohi, serta dikuasai oleh pihak yang lebih pintar dan mengerti banyak hal. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa, juga tidak akan bisa menghasilkan karya yang berkualitas untuk memberikan kesejahteraan bagi negerinya. Sangatlah tidak salah, bahwa “penguatan budaya literasi adalah kunci memajukan negeri ini.” (Lenang Manggala, Founder Gerakan Menulis Buku Indonesia).

Surabaya, 23 Februari 2019

Comments

POPULAR POST