MOTIVASI UNTUK MENULIS



Motivasi untuk Menulis

          “Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah.” (Pramoedya Ananta Toer)
            Banyak orang yang bertanya, apa motivasi saya suka menulis? Sebenarnya banyak sekali hal yang membuat saya begitu suka dunia menulis. Kesukaan saya dalam dunia menulis semakin meningkat seiring bertambahnya umur saya sejak pertama kali berkecimpung bersama orang-orang yang suka menulis. 
            Awal menulis adalah sejak duduk di bangku Tsanawiyah. Bermula dengan menulis puisi lalu juga mencoba menulis cerpen. Di sekolah Tsanawiyah saya ini, yaitu di MTs Al-Huda II, ada sebuah komunitas seni, namanya Sanggar 7 Kejora. Di sini lah saya dulu belajar menulis. Tak hanya menulis saja, akan tetapi di sini saya juga belajar membaca puisi dan seni lakon seperti pementasan drama dan teater. Banyak sekali teman-teman kelas, adik kelas, dan kakak kelas saya yang tergabung dalam saggar ini. Namun, karena di sini lingkungan pesantren, maka anggota laki-laki dan perempuan dipisah. Sehingga ada sebutan Sanggar 7 Kejora Putra & Sanggar 7 Kejora Putri. 
            Tutor/Guru kami di sini diantaranya adalah Bapak A. Qusyairi Hasyra, Kak F. Rizal Alif, Kak A. Warits Rovi, Kak Hariadi, Kak Ujang, dan tutor-totor tamu yang memang sengaja spesial didatangkan untuk mengajari kami. Tutor tamu tersebut merupakan kakak senior kami di Sanggar 7 Kejora yang tidak lagi melanjutkan sekolah MA di Al-Huda, sudah tamat MA, atau sudah kuliah seperti Kak Fajri Andika, Kak Rasyiqi, Kak Hendri Hendarto, dan yang lainnya. Serta terkadang tutor tamunya juga merupakan teman guru kami sendiri dari Yayasan lain yang memang berbakat serta ahli di bidang seni puisi dan lakon seperti Kak Nur Cholis, Kak Umam, Kak Matroni, dan yang lainnya.       
            Mereka adalah orang-orang hebat yang meluangkan waktunya untuk berbagi bersama kami di Sanggar 7 Kejora. Ya, merekalah yang mengajari saya banyak hal dan mengantarkan saya sampai pada keadaan yang sekarang. Berkat mereka semualah, saya selalu terpacu untuk menulis. Atas dedikasi merekalah, saya pun melahirkan karya-karya. Karena merekalah, saya selalu termotivasi untuk menulis. Saya tidak akan pernah lupa terhadap mereka semua. Dari mereka saya banyak belajar dan meraup ilmu tentang menulis. Bagaimana tidak, karya-karya hebat dan luar biasa mereka semua, begitu menginspirasi saya. 
            Bapak A. Qusyairi Hasyra atau akrab dipanggil dengan Pak Gugu’, merupakan founding father Sanggar 7 Kejora. Awal adanya Sanggar 7 Kejora ini hanya terdiri dari anggota laki-laki saja. Namun, akhirnya beberapa tahun kemudian dibuka juga untuk anggota perempuan. Pada saat awal berdirinya Sanggar 7 Kejora hingga dibuka anggota untuk perempuan, saya masih duduk di bangku MI. Jadi masih belum ikut. Namun, setiap kali saya mau ikut lomba Baca Puisi di sekolah, saya dan Syarifa (sepupu saya) belajar langsung ke Kak F. Rizal Alief di rumahnya. Baru kemudian setelah saya kelas 1 MTs, berdiri sebuah komunitas bernama Bengkel Sastra (anak dari Sanggar 7 Kejora). Saya pun ikut komunitas ini. Pembelajarannya di sini dibagi menjadi 2 kelas/bidang, yaitu Bidang Membaca & Bidang Menulis. Saya bersama Rum dan Jaja (teman kelas saya) memilih Bidang Membaca. Ya, seingat saya dulu anggota Bidang Membaca hanya ada 3 orang, yaitu kami bertiga. Sampai-sampai kami bertiga dijuluki tiga serangkai karena selalu bersama dan sering menjadi delegasi sekolah ketika ada lomba baca puisi. Pembelajaran di Bidang Membaca dibina langsung oleh Pak Gugu’. Sungguh, kami di sini benar-benar fokus diajari cara membaca puisi. Seperti olah vokal, mengatur nafas, membulatkan suara, dan masih banyak lagi. Setiap materi dijadwal berurutan atau secara bertahap dan diagendakan pada pertemuan setiap minggunya. Saya sudah lupa dulu pertemuannya setiap hari apa. Kalau tidak salah antara hari kamis/rabu/jum’at dan bisa jadi hari lainnya. Entahlah, pokoknya pertemuan kami rutin setiap seminggu sekali. Kalau tidak salah ingat, setelah materi pembelajaran ini selesai dalam waktu satu semester atau setahun, anggota yang terbagi menjadi 2 bidang ini pun disatukan. Dan kami bersatu dalam naungan Sanggar 7 Kejora seterusnya. Setelah itu, anggota laki-laki juga tergabung di sini menjadi satu. Namun, anggota laki-lakinya sudah tinggal sedikit, hanya beberapa orang saja. Masih lebih banyak anggota perempuannya. Nah, di sini pembelajarannya selang-seling, jika minggu ini belajar menulis, minggu depannya belajar membaca/seni lakon, terus bergantian seperti itu. Jadi, yang awalnya fokus belajar membaca bisa belajar menulis juga. Begitu pun sebaliknya yang awalnya fokus belajar nulis jadi bisa belajar membaca. Sehingga, saya yang awalnya belum bisa nulis, akhirnya berusaha keras untuk bisa menulis. Karena di pertemuan materi menulis, kami wajib menyetor 3 karya puisi. 
            Aduh, awal menulis puisi, saya itu tidak tahu apa-apa. Bingung harus membuat kata-kata yang bagaimana. Jujur, karena pemahaman saya masih dangkal kala itu, saya selalu saja menulis puisi tentang cinta, berbau romantisme, dan kesedihan cinta. Indra saya belum tajam saat itu. Saya ingin tersenyum dan tertawa saat mengingatnya. Entahlah, sepertinya menurut dugaan saya semua penulis pemula pasti akan mengalami seperti saya, menulis puisi nuansa romantisme. Soalnya saat itu saya kira puisi adalah kata-kata romantis tentang cinta saja. Barulah pada saat puisi saya dikomentari habis-habisan sama Kak F. Rizal Alief sampai saya mau menangis dan mata pun berkaca-kaca. Saya masih ingat betul saat Kak Rizal mengatakan bahwa tulisan saya adalah yang paling tidak berkembang dari tulisan teman-teman saya yang lainnya. Di situlah saya langsung sedih. Padahal baru saja dikomentari yang paling tidak berkembang, tidak dicaci maki, tidak dirobek dan tidak diremas-remas, tapi saya sudah langsung down
            Di rumah, saya pun baca-baca lagi semua puisi saya. Teringat dengan komentar Kak Rizal, maka saya pun belajar untuk membuat puisi yang agak berbeda dari sebelumnya. Awal mula belajar, puisi saya selalu bertema tentang cinta, orang tua, untuk Tuhan, dan kesedihan-kesedihan dengan susunan kata-kata yang mungkin jelek banget waktu itu. Komentar dari Kak Rizal pada akhirnya membuat saya bangkit untuk menulis lagi dan lagi. Hingga beberapa minggu kemudian, pada pertemuan berikutnya bersama Kak A. Warits Rovi, puisi saya di komentari adalah puisi yang paling bisa diterima. Saya masih ingat betul, Kak Warits mengatakan seperti ini: “Diantara karya kalian semua yang telah dibacakan tadi, seandainya saya adalah pimpinan redaksi koran, maka yang saya terima adalah puisinya Siti saja.” Waktu itu saya agak sedikit bahagia dan ingin tersenyum gembira gimana gitu, seraya bersyukur juga dalam hati. 
            Nah, jadi hikmahnya, terkadang kita memang harus dijatuhkan terlebih dahulu agar bisa bangkit. Harus diberi banyak kritikan dan komentar agar menjadi lebih baik. Namun, dalam konteks ini perlu diberi tanda petik bahwa Kak Rizal tidaklah menjatuhkan saya di sini. Justru Kak Rizal ini adalah orang yang sangat sangat sangat mengajari banyak hal dan telah berjasa menemani proses perjalanan saya di dunia puisi. Nanti akan saya ceritakan dan akan saya tulis lebih detail di judul lainnya tentang Kak Rizal. Bagaimana perjalanan saya bersama puisi yang selalu dibimbing dan ditemani Kak Rizal saat menjadi delegasi sekolah untuk mengikuti lomba baca/cipta puisi. Dari karya-karya beliau ini lah saya terpacu untuk menulis puisi lebih baik lagi. Sungguh, saya sangat berterima kasih kepada beliau yang entah dengan apa bisa saya balas kebaikan hatinya, kesabarannya, dan ketulusannya mengajari saya menulis puisi. Beliau adalah guru puisi saya yang hebat. Karya-karyanya dimuat di koran dan media nasional di tanah air seperti Kompas, Lampus Pos, Republika, dan masih banyak lagi. Bahkan, salah satu buah karya beliau telah mengantarkan Kak Rizal ke Malaysia untuk berwisata sastra dan bertemu penyair-penyair Malaka. Saya pun juga sangat ingin seperti itu, salah satu puisi saya bisa mengantarkan saya untuk berwisata sastra dan literasi ke luar negeri, baik itu ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Korea, China, Jepang, bahkan ke Eropa. Aminn ya Rabbal Alamin.
            Begitu juga dengan Kak A. Warits Rovi, sosok guru puisi saya yang begitu sabar, ramah, dan telaten mengajari saya dan teman-teman semua menulis dan membaca puisi di Sanggar 7 Kejora. Aduh, sama seperti Kak Rizal, tulisan beliau ini sudah tembus media-media nasional di seluruh penjuru tanah air. Kalau mengetik “Sajak-sajak A. Warits Rovi” di google, keluar langsung media-media nasional yang memuat karya beliau seperti BasaBasi.co, Arsip Penyair Madura, dan masih banyak lagi. Sungguh, membaca puisi-puisi Kak Rovi ini benar-benar membuat saya menjadi manusia yang lebih berperasaan dan menyelami kehidupan lebih mendalam. Kak Rovi ini benar-benar penulis yang konsisten dan selalu update dan berprestasi. 
            Tak kalah keren juga para tutor tamu yang pernah didatangkan ke Sanggar 7 Kejora seperti Kak Umam, Kak Nur Cholis, Kak Matroni, dan yang lainnya adalah orang-orang hebat semua. Kak Umam adalah mahasiswa lulusan S2 di UGM, karya-karyanya juga tersebar di media massa di tanah air. Kak Matroni juga, beliau juga mahasiswa lulusan Jogja yang karya-karyanya terkumpul dalam Antologi Bersama di seluruh tanah air serta tembus media massa nasional juga. Begitu pun Kak Nur Cholis, beliau ini adalah sosok multitalenta, penulis iya, sutradara film iya, penulis skenario juga iya. Sudah lahir beberapa film yang beliau produksi dari karya skenario beliau sendiri. Sepupu saya, Syarifa, adalah salah satu aktris figur yang ikut bermain dalam salah satu film karya Kak Nur Cholis. Sebenarnya dulu saya juga sudah tergabung juga untuk menjadi aktris figur dalam film tersebut, namun pada saat hari syuting, saya tidak diperbolehkan berangkat untuk ikut film itu sama Ibu. Padahal saya sudah ikut pertemuannya dan hafal skenarionya. Kata Ibu saya disuruh nulis saja, tidak usah main film. Saya yakin, ini pasti karena dalam film itu juga ada pemain laki-lakinya. Makanya saat Ibu tahu, saya langsung tidak dibolehin. Padahal cuma jadi aktris figur saja, sudah tidak diizinin, apalagi jadi aktris utama. Serta adegan dalam film itu antara laki-laki dan perempuan juga tidak macem-macem, ada batas dan jarak. 
             Sudah jelas sekali, semua tutor saya di Sanggar 7 Kejora adalah orang-orang berbakat, ahli, berprestasi, hebat, dan luar biasa. Saya ini mah apa, hanya butir-butir rengginang saja dalam toples. Dari merekalah saya belajar banyak sekali tentang menulis puisi, menulis cerpen, menulis naskah drama, membaca puisi, musikalisasi puisi, mementaskan drama, dan teater. 
            Selama di Sanggar 7 Kejora, berkat guru-guru puisi kami semuanya, alhamdulillah di sini kami melahirkan 2 Antologi Puisi Bersama. Antologi pertama adalah “Sinopsis Pertemuan” yang terbit pada tahun 2012. Lalu antologi yang kedua adalah “Doa Pangabasan” terbit pada tahun 2013. 
            Ibarat seorang Ibu dan anak, Sanggar 7 Kejora dibawah naungan Madrasah Al-Huda II lah yang mengandung dan melahirkan sosok saya di sini dengan nama pena Sitie At-Tsani Maghribi. Ya, dari sini lah masa bayi menulis saya, menyusu, belajar merangkak, belajar berjalan, belajar berbicara, dan belajar semuanya. Saya sangat bersyukur memiliki orang tua di sini yang begitu peduli, sayang, dan cinta pada saya. Yang dengan sabar merawat, mengasuh, mengajari, telaten, dan mendidik saya. MTs Al-Huda II telah memberi saya kesempatan dan peluang untuk menjadi wakil sekolah ketika ada lomba baca atau menulis puisi berkali-kali. Sehingga alhamdulillah selama belajar di MTs Al-Huda II saya bisa ikut berkontribusi untuk membuat sekolah lebih baik dengan prestasi yang alhamdulillah saya raih. Ada 3 prestasi yang saya raih saat MTs. Juara Harapan 2 lomba Baca Puisi tingkat Kabupaten yang diselenggarakan oleh Nasy’atul Muta’allimin. Lalu Juara Harapan 2 lomba Baca Puisi tingkat Kabupaten yang diselenggarakan oleh Yayasan Al-Karimiyah Braji. Dan yang ketiga adalah Juara 1 lomba Cipta Puisi Se-Timur Daya Kecamatan Gapura yang diselenggarakan oleh Komunitas K5. 
            Saya bukanlah siapa-siapa tanpa mereka. Dan saya tidak mungkin semangat, terus terpacu, dan terdorong untuk menulis jika tidak karena mereka yang selalu memotivasi saya hingga orang tua kandung saya pun juga ikut mendukung proses menulis saya setelah melihat greget, rasa ingin, dan kegigihan saya dalam belajar menulis. 
            Rasa terima kasih yang terdalam sedalam dalamnya dari saya untuk mereka semua, karena mereka telah menjadi motivasi besar saya untuk menulis selama perjalanan hidup saya. Yang selalu menanyakan “Masihkah kamu menulis Siti?” dan juga mengatakan kepada saya untuk tidak berhenti menulis. Saya pernah menyampaikan kegelisahan saya pada Kak Rizal tentang diri saya yang sudah sangat jarang menulis lagi karena kekurangan motivasi dan sistem dunia kuliah yang jauh berbeda dari dunia sekolah dalam belajar menulis, maka beliau langsung memberi saya motivasi, bahwa Pramoedya Ananta Toer saja dulu meski ia berada di dalam penjara masih sempat untuk menulis, lalu apa yang membuat kita tidak mau menulis yang tidak terpenjara? Saat itulah saya langsung menekan diri saya untuk kembali menulis lagi. Jujur, di pertengahan kuliah atau di tahun kedua kuliah (selama tahun 2018), saat saya tidak memiliki greget dan semangat menulis, saya merasa ada yang hilang dari diri dan jiwa saya. Dan saat saya kembali menulis, saya merasa menemukan kembali jiwa saya yang seutuhnya dan yang sebenarnya. 
Surabaya, 04-05 Januari 2020
             
           

Comments

POPULAR POST