LAUNCHING BUKU PERDANA
(Villa Bukit Tlekung, Batu, Malang, 25
Desember 2019)
Punya
buku karya sendiri yang sudah diterbitkan itu, seperti melahirkan sosok buah
hati, seorang anak, dari darah daging sendiri. Ya, seperti bayi yang lahir,
Ibunya butuh proses untuk bisa melahirkan. Dikandungnya selama kurang lebih 9
bulan lamanya. Sama, begitu juga dengan melahirkan sebuah buku. Bahkan
membutuhkan waktu lebih dari 9 bulan agar bisa lahir utuh menjadi sebuah buku.
Meskipun sebenarnya juga bisa lahir dengan proses waktu yang singkat. Namun,
seorang penulis tidak boleh tergesa-gesa untuk menyelesaikan tulisannya jika
memang belum waktunya.
-----
Buku perdana saya (Warna-Warna Langit) yang
alhamdulillah terbit pada bulan November 2019 dan telah dilaunching di
acara Penabara AMBISI (Aliansi Mahasiswa Bidikmisi) UINSA 2019 di Villa Bukit
Tlekung, Batu, Malang, pada tanggal 25 Desember 2019 itu, butuh proses dan
waktu yang tidak sebentar hingga bisa terbit. Selama 8 tahun saya menulis
sajak, terhitung dari tahun 2011 sampai 2019. Karya saya yang ada pada buku
“Warna-Warna Langit” itu, adalah sajak-sajak pilihan dari ratusan sajak yang
pernah saya tulis. Sajak-sajak itu telah dibaca dan dipertimbangkan oleh
guru-guru puisi saya. Ada juga beberapa sajak yang pernah menjadi juara dalam
event lomba cipta puisi.
Abu
Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau SAW bersabda, “Apabila
anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: amal
jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh/ah yang mendoakan” (H.R.
Muslim). Ini salah satu alasan dan motivasi yang mengantarkan saya melahirkan
sebuah buku. Menulis agar punya amal jariyah. Serta membangun hubungan
kemanusiaan dengan orang-orang baru yang tidak pernah kita kenal sebelumnya.
Terbukti, melalui buku perdana saya, ada beberapa orang baru yang benar-benar
tidak pernah saya kenal sebelumnya juga ikut order buah karya saya itu.
-----
Selama proses menyusun si Warna-Warna Langit,
dalam benak saya tiba-tiba terpikir, kira-kira di mana nanti ia bisa saya launching.
Pada bulan September, saya pun mengabari teman saya, ia adalah Wakahima Prodi
Sastra Inggris, bahwa buku perdana saya sebentar lagi akan terbit. Ia pun
dengan welcome dan membolehkan saya menyelipkan acara launching
pada salah satu kegiatan dwi mingguan HIMAPRODI Sastra Inggris. Namun, saat
buku saya telah datang dari penerbit pada akhir November, ketika saya
menghubungi teman saya itu lagi, ia meminta maaf bahwa kegiatan dwi mingguan
untuk sementara waktu vakum sampai akhir periode semester gasal. Jleb, tapi
saya tidak putus asa. Saya melihat peluang-peluang yang lain. Sempat juga
terpikirkan di Pesmi, namun kegiatan ekstrakurikuler di Pesmi telah berakhir
pada 24 November yang lalu. Sedangkan buku saya itu, baru sampai di Surabaya pada
tanggal 27 November. Lalu saya menghubungi adek tingkat saya, anak AMBISI juga,
prodi Sastra Indonesia. Namun, ia mengatakan bahwa sistem HIMA Sasindo belum
berkembang seperti yang lainnya. Karena Prodi Sasindo memang prodi baru yang
ada sejak tahun 2018. Dan, saya kembali berpikir, kira-kira di mana ya si
Warna-Warna Langit bisa dilaunching.
Tiba-tiba, saat itu saya teringat dengan
AMBISI. Saya ingat bahwa pada bulan Desember anak-anak AMBISI akan mengadakan
acara Penabara. Saya pun mencoba menghubungi salah satu adek tingkat saya yang aktif
di Divisi Pers AMBISI dan juga menghubungi Ketum barunya. Alhamdulillah,
singkat cerita adik-adik AMBISI memberi saya kesempatan untuk melanching
buku saya. Walau saya sempat kaget pada awalnya karena acara Penabara 2019 akan
diselenggarakan di luar kampus, yaitu di Villa Bukit Tlekung, Batu, Malang.
Bagaimana cara agar saya bisa sampai di sana? Itulah pertanyaan dalam benak
saya ketika itu. Jujur saya bingung nanti akan berangkat sama siapa ke sananya.
Pada 23 Desember 2019, rombongan adik-adik
AMBISI berangkat ke Malang. Saya pun telah dikasi rundown acara, jam dimana
saya bisa launching. Di hari itu, saya masih kebingungan saya harus berangkat
sama siapa. Mungkinkah berangkat sendirian? Akhirnya, saya mencoba menghubungi
beberapa teman untuk saya ajak. Mereka adalah teman-teman saya yang pernah
menjadi pengurus AMBISI pada periode 2018-2019. Mulai dari Purwanto, teryata ia
berangkat bersama adik sepupunya dari Bojonegoro. Hotimah, yang menjadi salah
satu pemateri pada acara Penabara, diantar oleh Kakak tingkatnya. Syarif,
kakinya masih belum sembuh karena beberapa hari sebelumnya ia kecelakaan. Lalu,
saya menghubungi Sundari. Dia pun awalnya tidak bisa memastikan bisa ke acara
Penabara atau tidak, sebab ia dalam tahap mengurus skripsinya yang sebentar
lagi akan wisuda. Hingga pada titik itu, saya pun pasrah. Saya pun ikhlas jika
buku perdana saya tidak bisa dilaunching secara langsung dan hanya bisa dirilis
secara online di sosial media sejak 03 Desember 2019.
Akan tetapi, 24 Desember 2019, di pagi hari saya
dikejutkan dengan munculnya sebuah grup baru di WhatsApp saya. Grup untuk pergi
ke Malang. Sundari yang membuatnya. Saya sama sekali tidak menyangka. Ketika
dia mengatakan bahwa kita nanti jadi akan berangkat ke Malang ba’da dzuhur
bersama Najib. Ya Allah, jujur sekali lagi saya tidak menyangka. Terima kasih
Sundari. Terima kasih Najib.
Jam 13.00 kami bertiga berangkat ke Malang
dengan bus dari terminal Bungurasih. Kami sampai di Malang sekitar pada jam 7
malam. Padahal jam saya untuk launching buku adalah pada pukul 16.00. Sehingga
acara launching buku diundur pada esok hari. Sebab, malam hari itu masih
ada kegiatan inagurasi yang butuh waktu cukup lama. Saya manut management
waktu yang dirancang oleh panitia Divisi Acara. Mereka pasti telah berpikir dan
mempertimbangkan estimasi waktu yang ada.
-----
Pada Jam
08.00 pagi, seusai adik-adik AMBISI senam pagi, mereka dikumpulkan ke dalam
forum oleh panitia. Dan, saya dipersilahkan untuk melaunching si Warna-Warna
Langit pada adik-adik AMBISI baru angkatan 2019.
Pada
kesempatan ini, saya bercerita proses menulis saya sejak tahun 2011, serta
proses menyusun buku Warna-Warna Langit hingga terbit. Jadi, adanya saya di
sini, di depan mereka, bukanlah bermaksud untuk pamer atau malah bersombong
diri. Saya pernah membaca tulisan Kak Abu, bahwa sukses itu tidaklah berhenti
pada diri kita sendiri. Sukses itu adalah ketika kita bisa menularkan kepada
yang lain. Ibarat pisau yang tajam, jika tidak digunakan, maka tidak akan
berguna. Nanti akan berkarat dengan sendirinya. Hilanglah ketajamannya. Barangkali
di sini ada diantara sekian banyak adik-adik AMBISI yang memiliki impian
terpendam untuk menerbitkan buku, namun belum tahu bagaimana proses dan
caranya. Paling tidak, mereka sedikit tercerahkan (walaupun saya bukan sang
pencerah) dengan cerita dan proses yang pernah saya lakukan. Lebih-lebih,
mereka menjadi sosok yang lebih hebat dari saya. Siapa tahu kan.
Dengan
berbagi bersama mereka, bukan berarti saya adalah orang yang paling spesial di
hadapan mereka. Mereka juga spesial, barangkali diantara mereka ada yang lebih
sebenarnya dari saya. Jadi, di sini kita saling berbagi cerita. Ibarat pisau
yang tajam dan digunakan, harus diasah kembali agar tetap bertahan
ketajamannya.
Terbukti,
memang ada. Saya menemukan sosok anak yang bisa menjawab pertanyaan saya.
Pertanyaan saya sangat simple, yaitu siapa saja para penulis di
Indonesia? sebutkan sebanyak 20 orang saja. Sebenarnya ini adalah tantangan
dosen saya di kelas Literary Criticism dulu, beliau akan memberi nilai +
jika bisa menyebutkan nama-nama para penulis di Indonesia sebanyak 20 orang.
Jujur, saya hanya bisa menyebutkan sebanyak 18 orang ketika itu. Padahal, saya
sadar betul bahwa penulis di Indonesia itu sangat banyak. Dan, di acara launching
buku saya yang perdana ini, anak yang akrab dipanggil Cici itu berhasil
menyebutkan nama-nama penulis Indonesia sebanyak 20 orang.
Sebelum
saya menyampaikan pertanyaan saya, saya mengatakan terlebih dahulu pada
adik-adik AMBISI, bahwa saya akan memilih anak tercepat yang mengacungkan
tangan. Tidak boleh lebih dari 5 detik untuk mengacungkan tangan setelah
pertanyaan itu diutarakan. Sebab saya tidak ingin anak-anak search di
google terlebih dahulu untuk mencari nama-nama penulis Indonesia.
Setelah
saya mengutarakan pertanyaan saya, saya melihat di sebelah pojok tempat peserta
duduk, anak perempuan itu paling cepat mengacungkan tangan. Hingga dia lah yang
berhak maju ke depan. Sebenarnya ada beberapa anak lain yang juga mengacungkan
tangan, hanya saja kalah cepat dengan Cici. Ia pun menyebutkan nama-nama para
penulis Indonesia di depan semua peserta, sempat berhenti sejenak beberapa kali
untuk berpikir keras dan mengingatnya. Karena dia tidak mengatakan menyerah,
saya tidak menyuruh untuk kembali duduk dan menggantinya dengan peserta yang
lain. Hingga akhirnya dia berhasil menyebutkan nama-nama para penulis di
Indonesia sebanyak 20 orang. Luar biasa anak ini. Satu buku Warna-Warna Langit
Cetakan Pertama spesial saya berikan untuk dia.
-----
Spesial
untuk AMBISI, saya persembahkan pula buku perdana saya, sebagai salah satu rasa
terima kasih yang terdalam. Terima kasih, telah memberi saya kesempatan untuk launching
buku perdana saya di acara Penabara ini. Terima kasih pula, telah menjadi sosok
rumah dan keluarga selama saya thalabul ‘ilmi di Surabaya yang begitu
memotivasi dan menginspirasi saya untuk berjuang di sini. Dan, terima kasih - terima
kasih yang lainnya yang tak cukup saya tuliskan di sini untuk AMBISI yang
sangat berarti di hidup saya.
Surabaya, 26 Januari 2020
Comments
Post a Comment
Beri komentar, kritikan, saran, dan masukan yang membangun. Terima Kasih! Salam Sastra dan Literasi!