QUALITY TIME BERSAMA IBU


QUALITY TIME BERSAMA IBU
(Malang, 14-15 Juni 2019)

Semenjak kuliah ke Surabaya, saya jarang sekali bertemu dengan Ibu. Bertemu Ibu, hanya ketika saya pulang kampung ke Sumenep. Sedangkan saya, bisa dikatakan jarang sekali pulang ke tanah kelahiran. Hal ini bukan dikarenakan saya tidak merindukan Ibu dan keluarga atau lupa dengan kampung halaman. Tidak sama sekali. Sebagai seorang anak perempuan, yang dirawat, dididik, dibersarkan, dan dicintai semanjak masih bayi oleh Ibu, tentu pasti selalu merindukan Ibunya, Ayahnya, keluarganya, lingkungannya, guru ngajinya, dan desa kelahirannya. Mulai saya dikandung Ibu hingga separuh umur 18 tahun saya selalu bersama Ibu dan Ayah. Baru pada saat thalabul ‘ilmi ke Kota Pahlawan saya harus memperjuangkan dan melanjutkan hidup meski jarak jauh memisahkan saya dengan kedua orang tua. Ya, jarak kami memang berjauhan, tetapi hati diantara kami selalu dekat. Pernah saya membaca sebuah tulisan, bahwa memang bukanlah jarak yang dekat yang membuat kita dekat. Tetapi hati lah yang membuat kita dekat, baik pada saat jarak berjauhan atau pada saat jarak berdekatan.

Sebelum saya berangkat ke Surabaya, Ayah bilang pada saya bahwa orang yang thalabul ‘ilmi itu harus benar-benar serius belajarnya, sampai paham, dan bisa mengamalkannya. Kata beliau, manisnya hidup akan terasa setelah berjuang. Nanti akan ada saat-saat tertentu yang mengharuskan saya untuk pulang. Ya, biasanya saya pulang kampung itu di minggu terakhir bulan Ramadhan untuk lebaran bersama Ibu dan Ayah di kampung halaman. Kemudian pada momen lebaran hari raya Idhul Adha. Di momen ini wajib bagi saya pulang kampung. Pada hari-hari yang lain pernah juga saya pulang kampung seperti saat liburan semester, tetapi biasanya tidak lama dikarenakan masih ada tanggung jawab di Surabaya. Jadi, kalau ditanya apakah saya rutin pulang kampung setiap bulan? Jawabannya adalah tidak. Sekali lagi saya katakan, hal ini bukan dikarenakan biaya, tidak rindu orang tua, ataupun hal negatif lainnya. Hal ini murni karena dalam proses thalabul ‘ilmi sebagaimana yang Ayah pesankan pada saya. Yang rutin saya lakukan adalah selalu berkomunikasi bersama Ibu setiap hari melalui telepon. Dan Ibu pun menyambang saya ke Surabaya terkadang setiap sebulan sekali, dua bulan sekali, atau tiga bulan sekali. 
 
Selama belajar di Surabaya, hidup mengajari saya untuk mandiri, mendewasakan saya, memperluas pengetahuan saya, membuka mata dan hati saya, bahwa hidup adalah sebuah “perjuangan”.

Kebersamaan bersama Ibu, Ayah, keluarga serta bertemu semua teman-teman dan guru-guru saya adalah hal yang sangat saya inginkan ketika pulang kampung. Sangat terasa bahagia sekali ketika ada di rumah bisa berkumpul dengan Ayah, Ibu, dan keluarga. Saya pasti meluangkan banyak waktu saya untuk bercerita-cerita dan ngobrol bersama Ibu, Ayah (saat masih ada), Saudara-saudara saya, Paman, Bibi, dan Nenek saya. Betapa berartinya saat-saat seperti ini. Saya menemukan hati dan perasaan yang seutuhnya disini. 

Alamdulillah, pada tahun 2019 ini saya mendapatkan kesempatan quality time untuk jalan berdua bersama Ibu. Yaitu pergi bersilaturahmi berdua bersama Ibu ke Kota Malang. Istilah kerennya mungkin bisa dikatakan ngedate bersama Ibu. Ya, daripada jalan-jalan bersama laki-laki yang bukan muhrim kan mending bersama Ibu, Ayah, atau keluarga. Mungkin banyak anak-anak lain yang lebih memilih untuk jalan-jalan dan liburan bersama pacarnya. Lalu pertanyaannya kapan akan meluangkan jalan-jalan sama orang tuanya? Bismillah, semoga Allah akan selalu melindungi saya dan menjaga prinsip saya untuk tidak pacaran. Ke Surabaya untuk thalabul ‘ilmi dan belajar dengan sungguh-sungguh sampai sukses.

Saya sangat senang bisa jalan berdua bersama Ibu. Sama sekali tidak gengsi. Kenapa harus gengsi, orang tua sendiri kok. Jika ada orang yang mengatakan saya anak Mama. Pertama, berdasarkan literal meaning saya akan menjawab, betul saya memang anak kandung dan darah daging Ibu & Ayah saya. Kedua, berdasarkan contextual meaning saya akan menjawab, jika yang dimaksud anak Mama adalah anak manja yang selalu membuntuti Ibunya kemanapun, anak yang masih tergantung dengan orang tua, anak manja yang apa-apa selalu ke Ibunya, anak cengeng, dan anak yang tidak mandiri, itu bukanlah saya yang sekarang. Mungkin dulu saat masih kecil iya, semenjak masih bayi hingga TK, saya bisa dikatakan anak Mama dalam arti seperti itu. Tetapi semenjak saya MI, mungkin perlu dipikirkan dua kali untuk mengatakan saya anak Mama. Karena mulai sejak MI, (mohon maaf) saya sudah bisa cebok sendiri, bisa makan sendiri (tidak disuapin lagi), berangkat sekolah sendiri atau langsung bareng sama teman-teman (tidak usah diantar atau ditunggui sampai pelajaran selesai), bisa mandi sendiri, bisa pakai baju sendiri, bisa pakai sepatu sendiri, bisa menulis sendiri, bisa belajar sendiri, bisa menjawab soal-soal pelajaran di sekolah sendiri, walaupun memang dalam beberapa hal saya masih bergantung kepada Ibu. Misalnya minta uang ke Ibu, lalu kalau tidak minta ke orang tua, minta ke siapa lagi bukan. Kan saya masih tanggung jawab orang tua, belum punya suami. Termasuk biaya sekolah, mulai TK hingga MA, semuanya ditanggung orang tua. Akan tetapi yang bisa saya lakukan adalah menabung setiap hari dan tidak boros. Kemudian makan masih dimasakin Ibu, yang beli lauk, sayur, dan masak nasi itu Ibu semuanya, nah yang bisa saya lakukan adalah membantu Ibu seperti mengambilkan kayu bakar dan membantu membelikan kecap atau telur ke toko samping rumah saat disuruh sama Ibu. Lalu baju juga masih dicucikan Ibu, tetapi sejak MTs saya sudah nyuci baju saya sendiri. 

Saya heran, kenapa arti anak Mama itu sering dihubungkan pada hal yang negatif. Jika memang ingin mengatakan anak manja, cukup katakan saja anak manja, bukan malah dikatakan anak Mama. Kenapa arti anak Mama itu tidak dihubungkan pada hal yang lebih positif saja. Misalnya anak yang sangat dekat secara emosional dengan Ibunya, anak yang erat hubungannya dengan Ibunya, anak yang berbagi bersama Ibunya dalam suka maupun duka, anak yang berbakti kepada orang tua, selalu meminta persetujuan Ibunya dalam hal pekerjaan, pendidikan, pertemanan, termasuk persoalan mencari jodoh, anak yang lebih menghargai  Ibunya, anak yang lebih mencintai Ibunya, anak yang bisa meluangkan waktu untuk sang Ibu, menuruti apa yang diperintahkan Ibunya, dan bisa diandalkan saat Ibunya perlu bantuan. Bukankah surga ada di telapak kaki Ibu dan ridhallahu fii ridhal walidaiin. Apakah salah anak Mama dalam arti seperti ini? Tentu tidak. Ini hal yang sangat baik menurut saya bila dibandingkan dengan anak yang terlalu acuh tak acuh atau tidak peduli kepada Ibunya sendiri dan malah durhaka. 

Jadi, quality time bersama orang tua dan keluarga itu sangat perlu. Sebagaimana saat lebaran di rumah kemarin, saya memang sudah sangat niat sekali untuk mengajak Ibu pergi bersilaturahmi ke keluarga di Malang agar saya sekali-kali bisa jalan berdua bersama beliau. Alhamdulillah Ibu mengiyakan ajakan saya. Karena Ibu dan saya memang belum pernah tahu bersilaturahmi ke salah satu anggota keluarga besar kami sejak pindah ke Malang. Mereka terus yang selalu silaturahmi ke kami di Sumenep. 

Tanggal 12 Juni 2019, saya kembali ke Surabaya karena masih ada mata kuliah yang belum selesai Ujian Akhir Semesternya dan di tanggal 13 Juni nya saya harus menyetor UAS mata kuliah Seminar On Language dan Comparative Literature. Kemudian Ibu baru menyusul ke Surabaya pada tanggal 13 Juni untuk silaturahmi ke Malang bersama saya. Sekitar jam 13.00 beliau tiba di Surabaya dan menginap di Asrama saya. 

Dengan campur tangan Allah, Allah mudahkan jalan kami untuk pergi ke Malang. Hari jum’at, 14 Juni 2019 sekitar jam 03.30 dini hari saya berangkat ke stasiun Wonokromo bersama Ibu dengan transportasi Grab Car. Ini adalah kali pertama bagi Ibu naik Grab Car. Suatu ketika saya pernah bercerita ke Ibu, bahwa kadang kalau saya ingin pergi ke suatu tempat itu menggunakan Grab Car. Ibu tidak paham Grab Car itu transportasi apa. Saya pun menjelaskan bahwa transportasi Grab Car itu mobil pribadi orang yang bisa dipesan melalui aplikasi Grab. Beliau pun khawatir, takut transportasi Grab Car ini berbahaya. Namanya juga orang tua ya, pasti selalu khawatir dan mendoakan keselamatan anaknya yang sudah tidak setiap hari bersama beliau. Saat Ibu merasakan naik Grab Car sendiri, barulah beliau percaya bahwa transportasi ini ternyata aman-aman saja. 

Jam keberangkatan kereta kami adalah jam 04.50 dini hari. Oleh karena itulah kami berangkat lebih awal. Jaga-jaga di jalan ada halangan dan membuat kami telat. Lebih baik kami menunggu setengah jam sebelumnya tetapi bisa ontime daripada ketinggalan kereta. Adzan subuh pun berkumandang kurang lebih sekitar jam 04.00 dini hari. Kami pun menunaikan shalat terlebih dahulu di mushalla yang ada di dalam stasiun Wonokromo. 

Tidak tahu kenapa, ternyata kereta kami datangnya telat. Kalau tidak salah ingat, kurang lebih jam 05.02 kereta kami baru datang. Kami pun masuk ke kereta dan mencari tempat duduk kami. Ini juga kali pertama Ibu naik Kereta Api. Dan sudah ketiga kalinya bagi saya. Terlihat sekali di mata saya, bahwa Ibu sangat senang bisa merasakan naik Kereta Api. Beliau pun mengatakan pada saya bahwa naik kereta itu ternyata lebih enak daripada naik Bis. Jangankan naik kereta Bu, saya pun mau suatu saat nanti bisa dan mampu mengajak Ibu merasakan naik pesawat. Amiin ya Rabbal ‘Alamiin. Jika saya diberikan kesempatan oleh Allah untuk melanjutkan S2 di luar negeri, saya mau mengajak Ibu bersama saya. Sebagaimana yang pernah saya tuliskan, saya ingin suatu saat nanti diberikan kesempatan oleh Allah untuk pergi umroh/haji sekaligus bersama Ibu. Berjumpa dengan Ka’bah, baitullah. 

Tak pernah kami sangka-sangka, tempat duduk yang kami duduki di dalam kereta berhadap-hadapan dengan sepasanga suami-istri yang masih muda. Mereka baik pada kami. Menawari kami minyak kayu putih serta menyapa kami. Ibu pun berbisik pada saya, bahwa si istri terlihat begitu sayang pada suaminya dilihat dari sikap dan cara memperlakukan suaminya. Saat suaminya menasehati istrinya, istrinya mendengar dengan penuh perhatian dan meresponnya dengan anggukan. Ya, so sweet sekali pasangan muda ini yang ingin pergi ke Blitar. 

Tak terasa ternyata sudah jam 07.15, kami sudah sampai di Stasiun Kota Lama Malang. Saya dan Ibu pun turun dari Kereta. Semoga di waktu yang lain, saya bisa naik Kereta Api lagi bersama Ibu. Betapa berartinya quality time ini. Dan betapa berartinya Ibu bagi saya. Jika ada kata, “Mom is Everything”, That’s right, I really really agree with that. Saya sangat bersyukur memiliki Ibu seperti beliau. Beliau benar-benar sayang, peduli, dan memperhatikan saya mulai dari kecil hingga sekarang. Tidak pernah beliau meninggalkan saya. Ibu dan Ayah selalu ada untuk saya. Beliau mendukung pendidikan saya. dan beliaulah penguat perjuangan saya. Ketika Ayah lebih dulu kembali pada Allah dari Ibu, saya menjadi sangat iba pada Ibu. Dan saya sangat kagum pada beliau yang memilih untuk tidak menikah lagi. Beliau lebih memilih untuk setia pada almarhum Ayah saya. Sampai saya terinspirasi dari beliau dan membuat kata mutiara bahwa “Menikahi seseorang adalah menikahi takdir wafatnya. Seseorang yang kita nikahi adalah manusia yang pasti mati. Menikahi seseorang adalah bersiap sepenuh hati untuk kehilangan dirinya (di dunia). Tapi berjuang dengan segenap jiwa dan raga agar berkumpul di surga, selamanya.”

Banyak sekali cerita tentang teman-teman saya dengan Ibunya, ada yang hubungannya sangat dekat sekali, utuh, dan bahagia sekeluarga. Namun, yang sangat membuat saya terharu, ada juga yang hanya baru enam kali bertemu dengan Ibu kandungnya sendiri selama hidupnya dikarenakan Ibunya bekerja ke luar negeri. Ada juga yang Ibu dan Ayahnya sudah cerai, si Ayahnya menikah lagi dan si Ibunya juga menikah lagi dengan yang lain, sehingga teman saya itu tidak keurus dan kekurangan perhatian serta kepedulian dari orang tuanya sendiri. Ada juga yang Ibu dan Ayahnya sering tengkar, sehingga mengganngu ketenangan dan psikologisnya. Subhanallah, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah memberikan jalan yang terbaik dan hidup yang lebih indah untuk teman saya bersama kedua orang tuanya. Amiin ya Allah. 

Semoga, saya dan semua orang yang masih memiliki Ibu dan Ayah yang masih hidup akan dijadikan anak yang shalih-shalihah dan berbakti kepada kedua orang tua. Bagi yang salah satu atau kedua orang tuanya telah kembali kepada Allah, semoga diberikan kesabaran dan semangat hidup yang luar biasa oleh Allah walaupun tiang penyanggah kita sudah tidak lengkap. Amiin. 

Sekarang, orang tua saya tinggal Ibu seorang yang masih hidup di dunia ini. Saya selalu berdoa, semoga Ibu akan diberikan kesehatan dan dipanjangkan serta diberkahkan umurnya oleh Allah. Bagi saya, Ibu adalah wanita syurga saya dan bidadari dunia saya. Semoga, saya bisa menjadi anak yang membahagiakan Ibu dan almarhum Ayah saya. 

Saya yakin, semua orang pasti merasakan betapa berharganya sosok kedua orang tua. Yang tak cukup, untuk dituliskan dalam kata-kata. 

Surabaya, 03 Juli 2019

Comments

POPULAR POST