SUARA HATI LUAR BIASA SEORANG GURU UNTUK PARA SANTRINYA

 

SUARA HATI LUAR BIASA DARI SEORANG GURU UNTUK PARA SANTRINYA

(Temu Alumni Ke-2 Angkatan 2014, 2015, dan 2016 dalam Forum Alumni Junior MA Nasy'atul Muta'allimin Gapura Timur Gapura Sumenep)
     
Jujur, awalnya saya ragu mau berangkat atau tidak. Alasannya apa? Sendirian, panas, dan harus jalan kaki. Benar-benar membuat saya enggan untuk keluar. Saat itulah pikiran dan hati kecil saya beradu argumen. Melihat jam, ternyata sudah menunjukkan pukul 13.00. Cuaca hari ini panas, mending tidur siang saja. Lagian mau berangkat sama siapa ke NASA. Mau nyamperin Ufi, tidak ada, dia ada di Banyuwangi. Berangkat sendirian, memang tidak takut di jalan. Tapi, hati kecil saya melawan semua itu. Jika saya tidak berangkat hanya karena cuaca panas, berarti saya tidak lebih baik dari saya yang dulu. Dulu saya setiap hari berangkat sekolah ke NASA dan pulang setiap hari jalan kaki, baik itu hujan, panas, ada kilat, petir, isu begal, anjing hutan, orang jahat, orang iseng, dan masih banyak lagi. Tak pernah saya takut. Nyali untuk berangkat ke sekolah, tak pernah ciut akan semua itu. Dan kebanyakan, jalan sendirian. Mengapa sekarang harus malas. Kalau malas, harus malu dengan semangat yang dulu begitu luar biasa, yang berhasil mengantarkan bisa kuliah di Surabaya.
     
Tanpa berpikir panjang lagi, saya langsung mandi dan shalat dzuhur. Saya telah memutuskan bahwa "Saya Harus Berangkat". Selesai shalat, godaan datang. "Nak, kalau capek sudah jangan berangkat." Ibu mengatakan seperti itu pada saya. Aduh, kenapa yang keluar harus kata-kata seperti itu. Iya sih, perhatian banget Emma' memang kepada saya. Tapi tidak, kata hati saya mengatakan tetap harus berangkat. Pokoknya berangkat. "Tidak Ma', saya harus berangkat, waktu Haflatul Imtihan di NASA sudah tidak bisa ke sana karena terhalang oleh kuliah, masak saya selama setahun tidak ke sana sama sekali." Tentu Ibu mengizinkan. Bahkan beliau menawarkan dirinya untuk mengantarkan saya dengan jalan kaki. Saya langsung Salim pada Emma' dan Eppa'. Ternyata Emma' membuntuti saya sampai ke halaman rumah, dan menawarkan akan membangunkan Kakak Ipar saya agar diantar dengan sepeda motor. Tapi, saya menolaknya.
     
Subhanallah. Serasa seperti masih sekolah MA. Banyak kenangan tercipta di sini. Semuanya tersimpan dalam memory hidup saya. Indah sekali. Di perjalanan menuju NASA, Saya tersenyum melihat sekitar. Rumput, pohon, daun-daun, langit, bambu, dan burung-burung. Saya melihat ada perubahan, jalan yang dulu pada saat masih sekolah berupa tanah dan batu-batu, sekarang sudah diaspal. Kehendak Allah memang sangat Indah. Hanya tergantung kepada diri saya ini dalam memahami.
     
Sampai di halaman Aula MA Nasy'atul Muta'allimin. Saya bertegur sapa dengan Ba' Iqu' dan Pu Em. Ya, itulah panggilan akrab mereka. Naik ke Lantai 2, saya disambut sama teman-teman saya yang jadi panitia. Mereka adalah Yoyong, Uul, Ba' Icho, Lulu', Ba' Faid, Lia, dan Ii'. Hingga saya teringat saat Uul dan Lulu' mengantarkan undangan Temu Alumni ke rumah, pada hari pertama saya pulang dari Surabaya.
     
Saat saya melepas sepatu untuk masuk ke dalam ruangan, di sana saya melihat wajah-wajah yang sangat saya kenal. Yang selalu menemani hari-hari saya di masa sekolah MA dulu. Waktu melangkahkan kaki di bibir pintu, mereka semua melihat saya. Dan dengan sangat GE-ERnya saya beranggapan mereka terpanah dengan kedatangan saya. Wkwkwkkwk. Lalu dengan sangat PDnya saya meletakkan konsumsi dan tas samping saya di lantai, untuk menyalami my beloved friend di samping saya. Tidak sampai 5 detik, saya serbu dengan sapaan antusias teman-teman dari belakang. Hingga saya menghampiri mereka dan menyalami semuanya yang ada di ruangan itu. Sumpah, saya bahagia. Mereka semuanya terlihat cantik. Ada yang hamil 7 bulan, ada yang sudah menggendong dedek bayi. Dan ada juga yang masih single. Hihihihi. Canda tawa muncrat seketika. Yang paling mereka tunggu dari saya, adalah cerita selama hidup di Surabaya. Si imut Yu Nur Faiqah, memanggil-manggil saya dengan kepakan tangannya agar saya duduk di hadapannya. Saat itulah bermunculan pertanyaan-pertanyaan mengenai studi dan kehidupan yang saya jalani di Surabaya. Kata mereka saya tambah kurus (Oh Tidak). Sampai saya ditanya sehari makan berapa kali. Hahah. Ada juga yang nanya kegiatan di Asrama apa saja. Kitabnya yang diaji apa. Seminggu mengaji ktab berapa kali. Aduh, banyak lah pokoknya. Sayangnya, waktu itu kira-kira sudah menunjukkan pukul 14.30. Acara pun dimulai. Padahal saya masih ingin bercerita banyak pada mereka. Wkwkwk.
     
Beberapa susunan Acara dibacakan. Acaranya dari awal berjalan dengan lancar. Nah, tiba di acara sambutan oleh Kepala Sekolah MA Nasy'atul Muta'allimin, saya persiapkan telinga, buku catatan kecil, dan pulpen. Ya Allah, sudah setahun tidak berjumpa Guru. Rindu sekali. Sekarang, Ayah K. A. Dardiri Zubairi S. Ag., S. Pd ada di atas panggung memberikan sambutan yang luar biasa sekali. Menyentuh. Penuh pesan. Kasih sayang. Semuanya saya catat agar saya tak pernah lupa (Amiin).
 
Setidaknya ada 10 poin penting, yang bisa saya tangkap, dan saya ambil manfaatnya untuk memperbaiki diri saya, untuk menuntun saya, dan untuk merangkul saya, pada arah yang lebih baik. Juga sebagai bekal perjuangan hidup saya.
 
1. Manfaat dari acara ini, yang hanya setahun sekali diadakan, hakikatnya adalah kita sebagai santri kembali pada spirit jiwa MA Nasy'atul Muta'allimin. Perasaan dimana kita menemukan diri kita yang sebenarnya. Menemukan hati kita yang seutuhnya. Menemukan jiwa kita yang sesungguhnya.
 
2. Santri yang pulang dari kota, yang susah payah pulang ke Desa, baik yang melanjutkan perguruan tinggi di luar, yang bekerja, atau yang berbisnis, tiada lain adalah karena kerinduan. Masih ingat asal. Dan rindu pada asal.
 
Ya, bagi saya, kita semuanya selayaknya memang butuh pulang. Tak peduli seberapa jauh kaki melangkah, tapi saat rindu menyapa, di sanalah Allah meminta kita untuk pulang. Mengobati rindu. Terhadap orang tua dan Guru.
 
Jadi,  datang ke acara ini, bukanlah sekadar untuk memenuhi undangan saja, apalagi karena sudah bayar uang konsumsi. Bukan. Tapi, "Kerinduan" untuk bersua kembali pada Guru, yang telah menuangkan banyak ilmu. Mendidik jiwa kita, para santriwatinya. Dan memberikan kontribusi besar terhadap masa depan kita untuk menjadi lebih baik. Serta "Merindukan" sosok sahabat dan teman yang telah begitu banyak berjuang bersama, bahagia, bercanda, dan tersenyum bersama. Menangis, mengeluh, dan letih bersama. Semua kenangan itu memang tidak akan pernah terulang kembali. Semuanya telah menjadi sejarah. Tapi, sangat keterlaluan jika dilupakan begitu saja. Karena, kehidupan yang kita pijaki sekarang, adalah karena jerih payah dan suka cita masa dahulu.
 
3. Apapun aktivitas para santri sekarang, sesibuk apapun pekerjaan para santri sekarang, dan dimanapun para santri berada, harus sadar bahwa basis Nasy'atul Muta'allimin adalah agama dan Pesantren. Oleh karena itu, selayaknya bagi para santri "Shalat" harus menjadi prioritas utama. Jangan sampai lalai, apalagi meninggalkannya.
 
Melihat kehidupan saya di Surabaya, Subhanallah, ada sebagian dari teman saya yang enggan untuk shalat. Suatu ketika, seusai kelas pada jam 10.30, saya bersama seseorang yang begitu bersahabat dengan saya pergi ke Gedung Twin Tower Lantai 7 di kampus. Yang mana, biasanya saya dan kebanyakan teman-teman yang lain wifi-an di sana. Jam menunjukkan sekitar pukul 12.30, ada 3 teman saya yang mengajak turun untuk masuk kelas. Ya, nanti jam 13.00 kita ada kelas Effective Listening. "Ayo sit, masuk kelas" Ajakan mereka. Saya heran dan menjawab "Lo, ndak aku mau shalat dzuhur dulu di sini. Kalian gak mau shalat dulu juga?". Dan apa jawaban mereka, "Enggak nanti saja." Hemmm... Ya Allah, entah saya tidak mengerti kenapa mereka memilih mau masuk kelas duluan, padahal masuknya masih jam 13.00. Sedangkan dari tadi mereka masih belum shalat. Dan kalau nunggu shalat setelah selesai kelas, masih nanti jam 14.30. Kan, sangat mepet ke waktu ashar.
Ada lagi yang sangat membuat saya marah, tidak suka, dan kecewa. Rapat acara yang tidak mementingkan shalat. Sudah adzan maghrib, tapi tidak kunjung berhenti. Sudah tahu kalau waktu shalat maghrib hanya sebentar. Waktu itu saya ikut dalam kepanitiaan acara Dies Natalis. Biasanya rapatnya setiap sore. Selesai rapat forum, masih ada rapat lanjutan untuk masing-masing divisi. Saya ada di divisi Kesekretariatan. Semuanya masih belum fix, namun koordinator seperti kurang begitu mementingkan shalat, sebelum semuanya selesai. Saya mengeluh dan merajuk. Bahkan saya minta pamit duluan, tapi tidak diizinkan, karena apa yang dirapatkan belum "FIX". Aduh, sumpah hati saya menggerutu. Tidak nyaman. Tidak mau seperti ini lagi. Akhirnya keluarlah kata-kata : "Kak, Ayo shalat dulu di masjid. Setelah shalat kita lanjutkan rapat kita di sana. Ayo Kak, sebenarnya saya sekarang ada jadwal ngaji kitab setelah maghrib di masjid, gak papa nanti saya tidak akan ikut ngaji demi kelanjutan rapat kita." Akhirnya koordinator setuju. Tuh kan, ya Allah..... Gara-gara rapat, shalat tidak tepat waktu, harus bolos ngaji pula. Benar-benar keterlaluan. Sejak saat itu, saya berjanji, akan memilih organisasi yang mementingkan shalat. Yang punya prinsip harus memenuhi tugas Allah terlebih dahulu, daripada tugas-tugas keduniawian. Astagfirullahal'adizim Ya Allah.
 
4. Dimanapun kita berada dan bersama siapapun kita berinteraksi setelah tidak menimba ilmu di Pesantren lagi, kita harus memakai "Akhlaqul Karimah" dalam kehidupan sehari-hari. Inilah peran para santri dan santriwati untuk menyebarnya, menampilkan, dan menunjukkan pada masyarakat luas, dan seluruh makhluk bumi.
 
Apalagi bagi yang terjun dalam dunia bisnis. Kebanyakan semuanya sekarang sudah tidak lagi bisa di sebut sebagai manusia, tapi sebagai "Animal". Kebanyakan semuanya berlomba-lomba dan bersaing dalam urusan mendapatkan "Money".
 
Sekarang, di desa saya sendiri, W O W sudah banyak para tetangga yang pergi ke Jakarta. Untuk apa? Mencari uang. Bekerja. Mencari penghasilan. dan urusan ekonomi lainnya. Entah bagaimana sebenarnya pekerjaannya di sana. Saya tidak pernah menyurvei ke Jakarta langsung. Ada yang pulang bawa uang banyak. Ada yang sampai bisa beli mobil. Ada yang malah bawa hutang. Lalu bagaimana dengan yang pulang membawa untung? Apakah hidupnya sejahtera dan tercukupi? Tidak. Mereka kembali lagi ke Jakarta. Pulang lagi. Lalu kembali lagi. Entahlah saya sampai tidak mengerti. Karena saya tidak pernah terjun dalam dunia bisnis. Namun, yang saya ingat dawuh Ayah Dardiri, bahwa sesepuh orang Madura mengatakan "Cong, dunnya reya tada' tabunna. Daddi ja' bur-lebur ka dunnya." Ya, persoalan duniawi itu tidak ada batasnya. Contoh saja, Sepeda motor keluaran tahun 2000 misalnya yang sangat keren dan canggih. Pada tahun 2001, ada keluaran baru yang lebih canggih. Pada tahun 2017, waduh ketinggalan jauh tahun-tahun sebelumnya, lebih keren tahun sekarang. Lalu orang-orang yang suka sepeda motor, sudah punya sepeda motor yang ini, mau yang itu, setelah itu yang begini, setelah yang begini, yang begitu, setelah yang begitu, yang kayak ini, setelah yang kayak ini, yang kayak itu, setelah yang kayak itu, yang seperti ini, setelah yang seperti ini, yang seperti itu. Haduh, sampai capek nulisnya saya ini. 😅😅😅
 
Kemudian di rumah, saya bertanya pada Ibu. Saya kan sama sekali tidak mengerti dunia bisnis kan ya. "Ma' kenapa Ki Dardiri mengatakan bahwa sekarang kebanyakan orang-orang yang bersinggungan dengan dunia bisnis seperti hewan?" Saya menanyakan hal ini pada Ibu, karena saya merasa, walaupun saya adalah seorang mahasiswi di Perguruan tinggi, tapi mengenai ilmu kehidupan beliau jauh lebih tahu dari pada saya. Ya,beliau sudah lebih dulu lahir dari pada saya, beliau pernah muda, dan beliau yang paling sering dan setiap hari bersinggungan dengan kenyataan sosial di masyarakat. Ibu menjawab "Coba kamu lihat sifat hewan. Mereka memakan apapun saja tanpa memikirkan apakah yang dimakannya itu halal atau haram dan suci atau najis. Berebutan makanan. Berebutan soal perut. Asalkan perut sendiri kenyang. Tanpa mempedulikan yang lain. Kalau ayam yang lain datang mau merebut makanannya, maka si ayam akan menghalanginya dengan bertarung atau menyakiti ayam-ayam yang lain. Bukankah disini ada persaingan dan keegoisan. Coba juga kamu lihat cara ayam-ayam mendapatkan makanan. Kadang mencuri padi tetamgga, diambil diam-diam, dan membuat keresahan dan marah para pemiliknya. Padahal sudah dikasi pakan. Tahu-tahu berak sana-sini." Luar biasa penjelasan Ibu. Dan Ibu bilang bahwa seharusnya kita tidak usah mengejar-ngejar dunia, tapi buatlah dunia menghampiri kita sendiri. Bagaimana itu ? (Heheh, Maaf ya, terlalu panjang kalau di tulis di sini semua.)
 
5. Buatlah hubungan yang ada Cinta di dalamnya dengan orang lain. Karena hubungan yang tidak dibangun dengan Cinta Kasih, maka itu tidak tulus. (Eh, gak usah baper dan jangan salah paham ya bagi anak-anak yang masih bau kencur, Hehehe).
 
Maksudnya begini (menurut pemahaman saya), hanya Cinta yang bisa mengubah dunia. Nah, pada prinsipnya, segala kejadian yang kita alami sebenarnya sudah dicontohkan oleh Allah melalui kekasih-Nya, yang juga jadi role model dari semua umat manusia. Dialah Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW banyak dicintai, tapi juga banyak dicaci. Beliau banyak dipuja, tapi juga banyak dihina. Beliau banyak dirindu, tapi enggak sedikit juga yang mau membunuh beliau. Logika sederhananya, beliau yang akhlaknya sempurna saja masih banyak yang enggak suka. Lantas, bagaimana dengan kita? Jadi jangan mengeluh kalau dimusuhi orang lain. Inilah kehidupan. Akan selalu ada hitam dan putih. Kita tidak ditakdirkan untuk disukai semua orang. Yang benci, biarlah benci dengan alasan-alasannya sendiri. Tak usah berusaha meyakinkan, sebab dia akan tetap yakin pada kebenciannya.
 
Intinya, kita jangan pernah menyerah untuk terus menebar kebaikan. Jangan pernah menyerah untuk terus memperbaiki diri dengan menebar kebaikan. Allah bersama mereka yang berjuang dalam kebenaran. Yang tidak takut untuk dikucilkan. Yang tidak takut ditinggalkan. Karena dia percaya, berjalan di jalan kebenaran adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan. Lebih baik kita dibenci karena sebuah kebenaran, dari pada harus dicintai karena sebuah kemunafikan.
 
Dan juga, kita harus membuang jauh-jauh ego kita. Kebanyakan orang cenderung mengutamakan kepentingan diri sendiri dan melupakan kepentingan orang lain. Saya, tidak mau menjadi orang kebanyakan, dan semoga kita semua. (Amiinn). Cara termudah untuk membuang ego kita adalah dengan memperhatikan dan mencermati kebutuhan orang lain. Setelah itu, tidak usah mengharapkan imbalan atau hasil yang didapat dari pertolongan kita. Ketika kita tidak mengutamakan ego pribadi, maka akan muncul keajaiban berupa kemudahan dan dukungan orang lain. Semakin kita banyak menolong orang lain, ketika kita membutuhkan sesuatu maka orang lain pun akan dengan suka membantu kita. Seperti sedekah, semakin banyak kita bersedekah akan semakin berkah pula hidup kita. Jika kita banyak memberi untuk manusia, kita akan banyak menerima dari Allah. Pernah saya baca cerita, bahwa kita kaya bukan dari apa yang kita punya, tapi dari apa yang kita berikan.
 
6. Di dalam islam itu tidak kenal kata menerima. Tapi memberi, memberi, dan memberi.
 
Ya, benar. Kita harus memulai untuk selalu memberi. Siapa yang banyak memberi akan mendapatkan yang lebih banyak. Kita menanam sebutir kacang. Lalu tumbuh berkali lipat.
Pemberian tidak hanya sebatas materi. Memberi senyuman, pujian, sapaan, doa, dan perhatian juga bisa kita lakukan. Contohnya, kita bisa memberi doa kepada sahabat kita. Saya pernah baca dalam sebuah Buku, katanya kalau kita diam-diam mendoakan kebaikan untuk orang lain, maka malaikat akan mengaminkan dan memberikan hal yang sama pada diri kita.
 
Logika sederhananya adalah semakin sering kita berdoa untuk orang lain, akan semakin mustajabah doa kita. Mendoakan orang lain juga akan menghindarkan kita dari rasa iri dan dengki. InsyaAllah, hati akan lebih lapang, jauh dari iri dan dengki, serta mendapatkan bonus pahala dari Allah.
 
7. Mencari ilmu itu, tidak semata-mata untuk fokus pada dunia.
 
"SEKOLAH TINGGI UNTUK APA?", pasti kebanyakan dari kita pernah mendengar hal ini kan. Entah itu dari tetangga, saudara, atau orang tua. Apa gunanya sekolah tinggi, menghabiskan banyak biaya dan tenaga jika yang dicari hanyalah selembar ijasah untuk melamar kerja ke sana ke mari. Jadi tujuan sekolah tinggi untuk nyari kerja? Padahal tujuan utama sekolah adalah untuk menimba ilmu agar ilmu yang didapatkan bisa bermanfaat untuk banyak orang. Bukankah Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, lalu kenapa kita harus takut mengabdikan diri dengan ilmu yang kita punya? 

"MELALUI JALAN APA KAMU AKAN MENGABDI? ", seseorang pernah bertanya "Nak, melalui jalan apa kamu akan mengabdikan ilmu yang kamu dapatkan?". Pertanyaan yang simple tapi bisa membuat orang yang ditanyai gelagapan. Melalui apa? Jalan yang mana? Keluarga, bangsa, dan negara membutuhkan pengabdian saya dan kita semua. Sudah siapkah kita?
 
8. Bagi para santri yang tidak melanjutkan studi ke perguruan tinggi, jangan pernah berhenti belajar. Kita bisa belajar dari semua hal. Jangan pernah beranggapan bahwa belajar hanya ketika berada di bangku sekolah atau kuliah. Kata Ayah Dardiri, banyak sekali yang bisa kita pelajari dari segala sisi kehidupan di sekitar kita. Yaitu "Belajar Memahami". Mencermati semua yang ada di masyarakat. Sesuatu yang terjadi saat ini dan semuanya. Hal itu akan mengajari kita untuk memahami kearifan.
 
9. Jangan sampai kita melulu menilai seseorang dengan mengukurnya dari sisi materi. Materi itu tidak abadi.
 
Sekarang, sudah banyak yang hatinya didominasi dengan simbol-simbol mewah. Menampilkan gaya hidup berkelas dan bermerek. Lalu, cara berpikirnya menjadi gaduh.
 
10. Cara mengingat asal, kita butuh "Tali".
 
Nah, tali semacam temu alumni seperti ini, bisa kita fungsikan untuk menarik semua alumni agar kembali ke sini. Berjumpa Guru dan sahabat. Meskipun hanya setahun sekali.
Ayah saya pernah bilang, bahwa kita berdosa kalau tidak pernah mendatangi Guru sama sekali dalam setahun.
 
Oleh karena itu, kata Ayah Dardiri. Cukup kita kenali diri kita sendiri itu siapa. Asal kita dari mana, dan bersama siapa. "من عرف نفسه فقد عرف ربه". "Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan semakin mengenal Tuhannya." Kita sukses karena kontribusi siapa dan dari mana.
Kita bisa merenung sejenak, dan menjawabnya sendiri.
     
Itulah yang bisa catat dalam hidup saya siraman kata-kata mutiara dari Guru saya. Semoga, apa yang bisa saya catat, bisa merangkul saya, menuntut saya, dan menunjukkan saya ke arah yang lebih baik, dan menjadi pribadi yang bisa beradab. Bagi yang membaca tulisan saya, semoga kita semua bisa mengambil manfaat dan hikmah. Aamiin (Eyak 😄😅)
     
Seuasai sambutan yang begitu luar biasa dari Ayah Dardiri, saya pun tak mau melewatkan tausiyah dari Bapak M. Manshur Ibnu Ma'od. Beliau adalah Guru yang menyampaikan ilmu-ilmu Aqidah dalam Kitab "Hushunul Hamidiyah" selama saya belajar di bumi Pondok Pesantren Nasy'atul Muta'allimin.
     
Setidaknya ada 5 hal luar biasa yang berhasil saya resap ke dalam hati saya :
 
1. Islam menganjurkan kita untuk selalu menyambung tali silaturahmi. Disebutkan dalam hadist, "Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahminya." (H. R. Bukhari-Muslim).
 
Rezeki disini bukan selalu berarti materi semata. Tapi rezeki kekuatan iman yang masih melekat pada diri kita dan sehatnya badan. Kan ada, orang yang mempunyai harta melimpah, tapi orangnya sakit-sakitan, terkena kolesterol, kencing manis, stroke, dan semacamnya, sehingga tidak bisa menikmati apa yang dimilikinya.
 
2. Maksud dari "dipanjangkan umurnya" disini adalah kita sempat melakukan kebaikan, mengambil manfaat, dan menjalankan silaturahmi.
 
3. Guru harus selalu ada di dalam hati para Santri, dimanapun berada. Sehingga diri santri selalu merasa seperti diawasi oleh Guru. Dan terikat dengan pengamalan ilmu yang telah didapat dari gurunya.
 
Selama belajar di Surabaya, banyak sekali cerita tentang saya. Baik dalam berteman dan menyikapi lingkungan baru dalam hidup saya.
 
Suatu ketika, ada beberapa teman dalam waktu yang berbeda dan dengan orang yang berbeda-beda pula, bertanya pada saya. "Siti, kenapa sih, kamu tidak pernah pakai celana seperti kita?". "Siti, kenapa sih, kamu tidak mau dibonceng sama laki-laki?". Nanti akan saya ceritakan lebih panjang tentang ini, Wkwkwk 😂.
 
Percaya atau tidak. Mau menilai saya seperti apapun. Mau mengatakan saya sok apalah. Tidak papa. Yang jelas, alasan mengapa saya tidak pernah pakai celana seperti teman-teman saya ataupun boncengan pada laki-laki yang bukan muhrim saya, intinya saya masih ingat asal saya dari mana. Emm... Pokoknya tunggu saja cerita ini, lucu, seru, dan bikin terharu... Hehehe 😄😅.
 
4. Akibat kalau kita sampai lupa terhadap Guru (Sumpah, bikin saya merinding dan atuutt 😫😩) ada 3 : 1). Akan lupa terhadap semua ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Guru. Ternyata inilah alasan mengapa para santri menjadi tidak bermoral, tiada lain karena Guru, tidak ada di hatinya. 2). Lisannya akan menjadi tumpul. Maksudnya, apa yang diucapkannya, tidak akan dihargai oleh orang. Jangankan dihargai, untuk mendengarkan saja, orang-orang jadi malas. 3). Akan miskin dalam akhir hidupnya. Miskin dalam segala hal.
 
5. Ketika kita ingat pada asal kita. Maka, akan memotivasi untuk kita ingat pada akhir kehidupan kita. Ingatlah kalau kita adalah Santri. Peran dari seorang santri adalah memakai Akhlaqul-Karimah. "Akhlaqul Karimah adalah hiasan abadi. Kunci sukses dunia dan akhirat."
 
Mungkin itu saja, yang dapat saya tulis. Kalau ada salahnya, mohon diperbaiki. Kalau benar, semoga kita bisa sama-sama merealisasikan dalam kehidupan kita. Saya, Siti Ramlah Binti H. Ma'odi wa Hatijah, pamit mau mencari inspirasi lain. Wkwkwk

@ Menerima kritik, saran, masukan, revisian, tambahan ilmu, dan perbaikan.
@ Salam Silaturahmi
Yang Menyayangi Kalian,
Siti Ramlah

Sumenep, 29 Juni 2017

Comments

POPULAR POST