MERANTAU KE SURABAYA

 


Merantau ke Surabaya

(Antologi Puisi Rantau: Puisi Pilihan Komunitas Dari Negeri Poci)

    Menulis puisi dalam perjalanan hidup saya merupakan salah satu cara saya untuk belajar dari alam semesta. Melalui apa yang saya lihat, saya dengar, saya sentuh, saya hirup, dan saya rasakan, kemudian saya jadikan sebagai hal untuk berkontemplasi, memaknai lebih dalam, mencari filisofi, dan memahaminya dengan seluruh hati. Menulis puisi juga merupakan sebuah upaya untuk melatih nurani agar berfungsi, berperasaan, dan memanusiakan manusia.

    Pada tahun 2020 yang lalu, sebagai bagian dari usaha untuk terus berkarya, saya berpartisipasi dan memanfaatkan peluang yang ada. Yaitu mengikuti seleksi menulis puisi dengan tema “Rantau” yang diadakan oleh Komunitas Dari Negeri Poci Jakarta. Banyak sekali para penyair senior yang turut serta dalam event tersebut. Di antaranya ada Pak Mukti Sutarman S.P., penyair senior dari Kudus. Lalu juga ada puisinya guru-guru saya di Sumenep, yaitu Kak F. Rizal Alief dan Pak Matroni Muserang. Serta ada puisinya adik kelas saya, yaitu Dek Ruhan Wahyudi (Pemenang Puisi Terbaik Hari Puisi Indonesia Tahun 2019).

    Awalnya nyali saya dibuat cukup insecure melihat deretan nama-nama penyair dari seluruh Indonesia turut berpartisipasi dalam seleksi antologi puisi tersebut. Namun, saya selalu menanamkan dalam diri saya agar mencoba dan tidak menyatakan kalah di garis start. Alhamdulillah pada kurasi tahap pertama, nama saya tercantum dalam sederetan ratusan nama-nama penyair yang lolos.

    Beberapa waktu kemudian, pada tahap kurasi selanjutnya, yaitu di tahap final dan diumumkannya nama-nama penulis yang puisinya lolos seleksi untuk dihimpun dalam satu antologi “Rantau”, nama saya ada di antara kurang lebih 150 penulis terpilih dari seluruh penjuru Nusantara.

    Judul puisi saya yang termaktub dalam antologi puisi “Rantau” tersebut adalah “Sepertiga Malam Ibu”. Puisi ini saya tulis dipersembahkan khusus untuk Ibu saya. Yang selalu mendoakan, mencintai, dan mendukung saya dalam berjuang di tanah rantau. Ya, sejak Agustus 2016, saya merantau ke Surabaya untuk thalabul ‘ilmi di sebuah Perguruan Tinggi. Tanah Kota Pahlawan itu telah mengajari saya untuk berproses dan berjuang.

    Merantau ke Surabaya adalah jalan restu yang saya peroleh dari kedua orangtua untuk melanjutkan pendidikan saya setelah lulus dari jenjang Sekolah Madrasah Aliyah. Berada di tanah rantau dan jauh dari orangtua mengajari saya untuk lebih mandiri dari sebelumnya. Anak bungsu yang selalu dimanja dan disayang-sayang di rumah, setelah merantau mencoba untuk kerasan, beradaptasi, dan bertahan hidup di lingkungan baru yang tak pernah dikenal sebelumnya.      

    Banyak sekali hal-hal, cerita hidup, hikmah, pelajaran, arti, dan sesuatu yang saya temui di tanah rantau. Pengalaman hidup saya di Kota Pahlawan tersebut sebagian telah banyak saya ceritakan pada tulisan-tulisan saya sebelumnya. Sebagian saya memilihnya untuk disimpan di dalam hati saya saja tanpa dituliskan. Karena hal yang tidak saya tuliskan itu berkenaan dengan privasi seseorang dalam cerita perjalanan hidup saya. Oleh karena itulah, saya takut apabila dituliskan malah akan menimbulkan hal yang sensitif dan salah paham. Jadi, cerita perjalanan hidup saya di tanah rantau, saya pilah-pilih mana yang sekiranya bisa dikonsumsi dan dibaca oleh publik.

    Berbicara soal merantau, sekian banyak orang dan saya, pasti memiliki cerita yang berbeda-beda. Begitupula dengan tujuan dan impian yang ingin dicapai. Tetapi yang jelas, semuanya berjuang, semuanya berproses, semuanya menempa hidup, dan semunya berpetualang. Tentu untuk lebih baik dari sebelumnya.   

    Beradaptasi di tanah rantau adalah fase yang menggiring saya untuk lebih dewasa. Pandangan ke depan diluruskan. Dimana keluh, kesah, merengek, atau bermanja harus direndahkan tensinya.

    Oh ya, pesan Kepala Sekolah yang selalu saya ingat hingga saat ini kata beliau kalau memang ingin thalabul ‘ilmi maka bersungguh-sungguhlah, jangan malah cendurung untuk berlomba-lomba menampilkan gaya hidup.

    Beberapa guru dan keluarga besar saya, semuanya saya pintai pesan-pesannya untuk diri saya sebelum berangkat ke tanah rantau. Dari semua pesannya, jika disimpulkan adalah mereka menginginkan saya agar meluruskan niat semata-mata untuk thalabul ‘ilmi dan mencari ridho Allah, menjadi diri saya sendiri, tidak mudah terpengaruh dengan gaya hidup di luar kemampuan diri saya, berkumpul dan bersahabat dengan orang-orang baik, menetap di lingkungan yang baik, tidak berpacaran, serta menjaga kehormatan diri baik-baik.

    Dari semua pesan tersebut, saya pun berusaha yang terbaik yang bisa saya lakukan untuk kebaikan diri saya, nama baik saya, nama baik orangtua, dan untuk nama baik guru-guru saya. Intinya, di tanah rantau yang merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta, saya berusaha semaksimal mungkin untuk bersikap, bertindak, dan melakukan hal terbaik yang bisa saya lakukan.

    Dalam doa yang selalu saya panjatkan hingga saat ini, semoga Allah akan selalu melindungi saya, memberikan keselamatan terhadap saya dalam keadaan hal apapun dan di manapun saya berada. Serta semoga Allah akan selalu membimbing, mengarahkan, dan menunjukkan yang terbaik dalam setiap langkah saya.

    Saya juga sangat berharap, segala ilmu yang saya pelajari dan yang saya dapat di tanah rantau dapat berguna dan bermanfaat untuk banyak orang. Saya ingin ilmu yang ada di dalam diri saya menjadi air yang mengalir, bukan menjadi air yang tergenang. Jika diilustrasikan sebagai pohon, saya ingin ilmu saya bisa meneduhkan banyak orang.

    Duhai tanah rantau. Duhai Kota Pahlawan. Duhai Surabaya. Dirimu adalah bagian dari cerita sejarah dimana saya bertumbuh. Akan abadi dalam tulisan-tulisan sederhana ini. Menjadi saksi. Menjadi rekam jejak. Yang dapat saya kenang. Tak kan pernah terlupakan.

    Sebuah nasihat yang terkandung dalam bait-bait syair Imam Syafi’i, menjadi salah satu motivasi yang menggerakkan jiwa dan menguatkan hati untuk terus melangkah di tanah rantau. “Merantaulah, orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang). Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan). Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat makanan. Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akan kena sasaran. Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam. Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang. Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa apabila masih ditempatnya (sebelum ditambang). Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika terus berada di dalam hutan. Jika kayu gaharu itu keluar dari hutan, ia akan menjadi parfum yang tinggi nilainya. Jika bijih emas memisahkan diri (dari tanah) barulah ia dihargai sebagai emas murni.”

Surabaya | 14 Juni 2021

Comments

POPULAR POST