TORON KE MADURA
Toron ke Madura
Sebagai orang Madura asli yang berdomisili di
tanah rantau, beberapa orang kerap kali ada yang bertanya istilah “Toron” kepada
saya. Makna secara bahasa dalam bahasa Indonesia, “Toron” adalah “Turun”. Turun
dari mana? Oke, kalau diartikan secara istilah, “Toron” itu adalah sebuah
anggapan atau semacam label bagi orang Madura yang merantau, lalu pulang ke
kampung halaman. Sama halnya dengan istilah “Pulkam” (Pulang Kampung). Sesimpel
itu. Namun, “Toron” itu sendiri adalah bahasa Madura. Kata tersebut difungsikan
untuk mendefinisikan atau memberikan istilah bagi orang Madura asli yang hidup
di tanah rantau (seperti bekerja) lalu pulang ke kampung halamannya. Atau bisa
juga ditujukan kepada orang Madura yang berkeluarga dengan orang yang bukan
orang Madura dan tidak tinggal di tanah Madura setelah menikah.
Contoh saja nih, ada tetangga saya
di rumah kerja (Atwi misal namanya) di Jakarta, Yogyakarta, Bali, Kalimantan,
Malaysia, bahkan sampai ke Arab Saudi, dan tempat-tempat lainnya juga. Misalnya
mereka katakanlah sudah lima tahun di tanah rantau dan tidak pernah pulang ke
kampung halaman. Nah, keluarga atau tetangganya di Madura, bisa mengatakan
seperti ini: “Da’emma ye, Atwi mata’ pernah toron sakale ka Madura?”
(Kemana ya, Atwi kok nggak pernah pulang sama sekali ke Madura?). Seperti itu.
Jadi, sederhananya, kata “Toron” itu sama artinya dengan “Pulang”. Wkwkwk.
Contoh lainnya lagi, ini diambilkan
dari kisah perjalanan hidup keluarga saya sendiri. Saya punya kerabat laki-laki
dan perempuan (dari garis keturunan Ibu saya) yang berkeluarga di Malang. Setelah
menikah memilih untuk hidup di sana bersama suami, istri, dan anak-anaknya.
Lalu, di masa covid-19 di tahun 2020 kerabat saya yang di Malang itu tidak ada
yang bersilaturahmi ke rumah pas hari raya idulfitri, karena saat itu juga lagi
dalam masa lockdown dan tingkat covid-19 masih tinggi. Biasanya, di tahun-tahun
sebelumnya itu pasti tiap tahun pas hari raya idul fitri selalu datang bersilaturahmi
ke rumah. Dari tahun 2020 sampai 2022 keluarga yang di Malang tidak datang ke
rumah, dan Alhamdulillah kembali bersilaturahmi ke rumah di hari raya idulfitri
2023. Alhamdulillah covid-19 juga sudah tidak ada lagi. Nah, pada saat kerabat
saya tidak datang ke rumah itu, saat itulah nenek saya mengharapkan kedatangan
mereka dengan mengatakan seperti ini: “Da’emma tayye Hanif (nama
samaran) ma’ tada’ toron?” (Kemana ya Hanif kok tidak datang
bersilaturahmi?). Jadi, arti dari “Toron” juga sama halnya dengan “Silaturahmi/Bermain/Berkunjung”
kepada keluarga yang ada di Madura.
Kalau disimpulkan, makna “Toron”
sederhananya adalah “Pulang” bagi orang Madura yang bekerja di tanah rantau. Bermakna
“Pulang” juga bagi orang Madura yang berkeluarga dan hidup di tanah rantau.
Lalu, berarti “Silaturahmi, Bermain, dan Berkunjung” terhadap keluarga besarnya
di tanah Madura.
Adapun “occasion” atau situasi yang
menyebabkan orang Madura di tanah rantau “Toron” tidak melulu pada saat hari
raya idulfitri. Bisa dikarenakan hal lainnya. Misalnya, “Toron” karena adik
atau anak tetangganya yang menikah, “Toron” karena ada keluarga atau
tetangganya yang meninggal, “Toron” pada saat hari raya iduladha untuk
berkurban, dan “Toron” yang disebabkan oleh hal-hal lainnya tergantung
keperluannya apa.
Namun, di lingkungan saya istilah “Toron”
ini tidak difungsikan bagi anak-anak yang merantau dengan tujuan tholabul ‘ilmi,
seperti mondok atau kuliah di luar Madura, lalu pulang saat liburan pondok atau
kuliah. Jadi, kalau mereka pulang, yasudah, dikatakan “pulang” saja. Bahasa maduranya
“pulang” adalah “mole”. Contohnya nih, saya yang masih kuliah di tanah rantau
hingga sekarang, jarang sekali pulang ke Madura. Nah, Ibu saya biasanya akan
bertanya seperti ini: “Bile se molea?” (Kapan yang mau pulang?). Dan
biasanya nenek saya di rumah kata Ibu juga bertanya seperti ini: “Daemma
Titi ma’ tada’ mole?” (Kemana Titi kok nggak pulang?).
Mendiskusikan kata “Toron” ini cukup
menarik bagi saya. Karena hal ini sama halnya belajar pragmatiknya bahasa
Madura. Dan saya, sebagai anak jurusan bahasa/linguistik, merasa terpanggil
untuk membuat tulisan ini. Lanjut, jadi kata “Toron” itu lebih dipatokkan pada
jarak (dintance). Bukan berpatokan pada makna harfiahnya “Turun” seperti
naik-turun. Bukan ya, jadi orang yang merantau atau tinggal di tanah rantau
bukan “naik”. Lagian juga mau naik ke mana? Wkwkwk. Serta, “Toron” itu juga
tidak berpatokan pada kelas sosial, seperti level atas atau level bahwa. Tidak
ya.
Kalau saya pribadi, mengartikan “Toron”
itu, apabila dikaitkan dengan kearifan lokal, maka “Toron” itu memiliki arti
yang sangat halus dimensinya. Seperti orang Madura yang bekerja di tanah
rantau, enatah bagaimana asam garam dan pahit getirnya yang telah dilalui di
tanah rantau, jika sudah sangat lama dan bertahun-tahun tidak pernah pulang
atau “toron” ke kampung halamannya di Madura, siapa yang tidak rindu dengan
orang tua, keluarga, dan tetangganya? Dan, orang Madura yang berkeluarga dengan
orang yang bukan orang Madura, lalu memilih hidup di luar Madura, siapa yang
tidak kangen dengan orang tua di rumah, adik, kakak, nenek, paman, dan bibinya?
Saya yakin, mereka selalu ingin “Toron”, berjumpa Ibu, Ayah, Adik, Kakak, dan
seluruh keluarga besarnya, yang telah merawat dan menyayanginya sedari kecil. Berjumpa
guru yang mengajari ngaji dari Alif Ba’ Ta’. Berjumpa tetangga yang seringkali
membantu ketika di rumah ada acara atau dalam situasi lannya. Berjumpa teman
seperjuangan saat masa sekolah, dan perjumpaan dengan sosok-sosok lainnya.
Bahkan, bisa jadi tidak hanya sosok
orang atau keluarga yang dirindukan, tetapi juga tempat. Seperti tempat
sekolah/madrasah saat sekolah dari masa taman kana-kanak dulu, langgar, surau,
atau pekarangan rumah yang selalu dijadikan tempat bermain bersama teman, serta
tempat-tempat lainnya.
Dan saya, sebagai anak yang masih
saja tholabul ‘ilmi di tanah rantau, selalu saja rindu kampung halaman, Ibu,
keluarga, dan masih ingat dengan semua kenangan masa sekolah dulu, sama teman
dan sahabat saya, serta semua hal baik susah-senang, sedih-bahagia, yang telah
terjadi di tanah kelahiran.
Semoga, Ibu dan kelurga di Sumenep
sehat dan bahagia selalu. Terima kasih, sudah selalu menantikan Titi pulang ke
rumah.
Catatan Anak
Rantau
Surabaya | 11
Juli 2023
Comments
Post a Comment
Beri komentar, kritikan, saran, dan masukan yang membangun. Terima Kasih! Salam Sastra dan Literasi!