LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN



Lebaran di Kampung Halaman
(01 Syawal 1440 H)

Ini adalah lebaran kedua saya tanpa keberadaan sosok Ayah. Semoga Ayah di alam barzah sana selalu mendapatkan kebahagiaan, aman, nyaman, dan tentram. Dalam pandangan mata, beliau memang telah tiada. Tetapi dalam hati saya, kehadiran beliau selalu saya rasakan menemani perjalanan hidup saya. Ya, dalam hati, beliau selalu ada, selalu dekat. Betapa berartinya beliau bagi diri saya, tidaklah cukup untuk saya tuliskan.

Jika ada yang mengatakan bahwa “Harta yang paling berharga adalah keluarga & Istana yang paling indah adalah keluarga”, saya sangat setuju sekali dengan pernyataan ini. Maka tidak heran jika ada tradisi mudik untuk bertemu Ayah dan Ibu serta keluarga di kampung halaman setiap kali menjelang lebaran. Hal ini menandakan bahwa keluarga memanglah sangat berarti.

Salah satu pelaku mudik ke kampung halaman adalah diri saya dikarenakan saya kuliah di Kota Surabaya. Saya akui bahwa saya memang jarang pulang kampung. Hal ini dikarenakan beberapa alasan. Diantaranya adalah karena saya memilih untuk fokus mengerjakan tugas-tugas kuliah, memiliki tanggung jawab di Ma’had dan mengajar TPQ, serta dulu Ayah pernah bilang ke saya, bahwa orang mencari ilmu itu tidak boleh sering-sering pulang, saya disuruh bener-bener belajar sampai benar-benar pintar dan sukses. Alhamdulillah, tanggal 01 Juni yang lalu, saya pulang kampung ke Sumenep. Karena lebaran bersama keluarga itu wajib bagi saya. Saya ingin bertemu, minta maaf, dan mencium tangan Ibu saya secara langsung. Begitu juga terhadap kerabat dan anggota keluarga besar.

Saya yakin, semua orang yang pulang dan memilih lebaran bersama keluarga di kampung halaman memiliki kesadaran yang sama dengan saya. Bahwa momen “Hari Raya Idul Fitri” adalah momen yang langka, adanya hanya satu tahun sekali untuk berkumpul dan meminta maaf pada keluarga. Tidak peduli seberapa jauh kaki telah melangkah, tetapi keluarga melebihi sebuah perasaan yang harus kita jaga. Saya sendiri tidak bisa membayangkan, bagaimana jika saya sebagai seorang anak tidak bisa pulang kampung di momen hari-hari lebaran. Bagaimana perasaan keluarga saya, terutama perasaan Ibu? Ya Allah, jangan sampai suatu saat saya mengalami hal ini. Apa pun alasannya, saya harus pulang untuk menenteramkan hati, perasaan, dan kerinduan.

Saya pun juga sangat yakin, sebagian orang yang tidak bisa pulang ke kampung halaman di momen lebaran, bukan dikarenakan murni tidak ingin pulang. Mereka pasti dalam keadaan yang tidak memungkinkan karena beberapa alasan. Dan tentu, sebenarnya mereka sangat rindu Ibu, Ayah, keluarga, dan kampung halaman. 

Syukur. Hanya syukur yang luar biasa dari lubuk hati saya yang sangat dalam, tahun ini kembali berlebaran bersama Ibu (walau Ayah sudah tiada) dan bersama keluarga besar di rumah. Ini adalah sebuah mutiara kesempatan yang Allah berikan untuk saya.

Hal yang sangat disyukuri pula pada lebaran tahun ini adalah adanya keponakan kedua saya yang telah lahir ke dunia ini pada bulan Maret yang lalu. Dia berjenis kelamin laki-laki, namanya “Rofi’ul Himam”. Keluarga sepakat untuk memanggilnya “Himam”. Lebaran tahun lalu, dia masih belum ada. Alhamdulillah atas karuania Allah, tahun ini dia menjadi bagian dari keluarga besar kami. Saya masih ingat betul, pada lebaran tahun lalu saya berdoa agar Mbak saya dikaruniai anak yang kedua. Doa ini pun menjadi doa keluarga, karena mereka memang mengharapkan anak kedua dari Mbak saya. Sudah beberapa kali Mbak saya mengalami keguguran sebelumnya. Dan ternyata, Allah mengabulkan doa kami.

Kebahagiaan yang hadir bersama keluarga saat Hari Raya Idul Fitri tercipta sejak saya masih kecil. Jadi, ketika sudah besar seperti ini, rasanya tidak bahagia jika tidak lebaran bersama keluarga. Oleh karena itulah saya pulang dari Surabaya. Pada hari pertama lebaran, saya pasti pergi ke langgar untuk bertemu guru ngaji kitab dan Al-Qur’an saya sejak kecil dengan membawa “Rasol”. “Rasol” adalah sebak nasi/beras ditumpangi telur yang sudah masak/masih mentah dan sebiji/lebih uang logam. Banyak sekali langgar di kampung saya. Karena kampung saya itu adalah lingkungan Pesantren. Guru ngaji saya adalah di langgar keluarga Kiai Abdul Halim. 

Setelah datang dari langgar, saya bersama Ibu, Mbak, Kakak Ipar, Kedua keponakan, dan Sepupu perempuan saya pergi ke rumah Nenek di Desa Longos. Tempatnya tidak begitu jauh-jauh banget dari kampung saya. Nenek ini adalah Ibu dari Ayah saya. Setiap Hari Raya Idul Fitri, kami pasti bersilaturahmi ke beliau. Di Longos, kami tidak hanya bersilaturahmi ke Nenek saja, tetapi juga ke kerabat-kerabat Nenek yang terpisah di beberapa tempat di sana. Alhamdulillah, disana kami diberi THR sama Nenek dan kerabat-kerabat Nenek. Sangat baik dan sayang sekali mereka kepada kami. Begitu juga sebaliknya kami sayang kepada mereka.

Lebaran hari kedua dan seterusnya saya bersama keluarga memilih untuk menanti family yang jauh tinggal di kota bersilaturahmi kepada kami. Biasanya yang paling kami tunggu-tunggu kedatangannya adalah keluarga yang dari Malang dan Bangkalan. Mereka adalah cucu-cucu Nenek (Ibu dari Ibu saya) yang telah sukses. Sayangnya, saya ini masih belum paham terhadap alur silsilah cucu-cucu Nenek dan keluarga kami. Ya, intinya kami adalah keluarga besar.

Pada momen lebaran ini, saya pun meluangkan banyak waktu untuk bercerita-cerita pada Ibu. Ibu bercerita banyak hal tentang kampung, saya bercerita tentang perjuangan hidup saya serta banyak hal pula di Surabaya. Juga, kami bercerita tentang Ayah. Menangis dan tertawa bersama. Sederhana bukan, tapi hal ini sangat bermakna. Perasaan menjadi hangat. Kerinduaan yang tertanam, tumbuh menjadi buah kebahagiaan.

Bahagia itu sederhana dan apa adanya, bersama keluarga.

Sumenep, 08 Juni 2019

Comments

POPULAR POST